Home Ekonomi Pakar Hukum Pasar Modal: Harus Ada Kekhususan Ketentuan IPO Perusahaan Pertambangan

Pakar Hukum Pasar Modal: Harus Ada Kekhususan Ketentuan IPO Perusahaan Pertambangan

Jakarta, Gatra.com – Pakar hukum pasar modal, Dhaniswara K. Harjono, mengatakan, harus ada kekhususan bagi perusahaan pertambangan kalau akan melakukan Initial Public Offering (IPO) atau penawaran saham perdana.

“Harus ada yang membedakan antara bidang usaha biasa dan bidang usaha pertambangan. Ini harus jelas, supaya ada fungsi kontrolnya,” kata Dhanis di Jakarta, Senin (22/5).

Pria yang juga mendapuk Rektor Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta tersebut dalam diskusi bertajuk “Menyorot Rencana PT Amman Mineral: Perspektif Regulasi dan Akademi” menjelaskan bahwa bahan tambang di negeri ini merupakan anugerah dari Tuhan kepada Bangsa Indonesia.

"Tambang ini prosesnya ribuan tahun. Kita tahu sekitar 200 tahun setelah Bumi ada, itu para ilmuan mengatakan bahwa ada hujan meteor. Yang luar biasanya lagi meteor itu banyak yang jatuh di Indonesia,” ujarnya.

Setelah melalui satu proses selama ribuan tahun, akhirnya munculah tambang emas. Ini sudah diketahui oleh para pendiri bangsa ini sehingga dikatakan sejak awal bahwa tujuan Indonesia adalah negara kesejahteraan atau masyarakatnya adil dan makmur.

“Kemudian, Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945, dikatakan bumi dan air seisinya dikuasi oleh negara untuk sebanyak-banyaknya kemakmuran masyarakat,” ujarnya.

Ia pun mengaku setuju harus menasionalisasi perusahaan tambang asing di Indonesia. Namun, harus ada persyaratannya, misalnya harus ada saham merah putih atau negara dan syarat-syarat lainnya yang membedakan bidang usaha biasa dengan pertambangan karena Bumi dan isinya dikatakan dikuasai oleh negara.

“Ini juga dalam UU Pertambangan dan Mineral juga jelas bahwa ini untuk sebanyak-banyaknya kemakmuran rakyat. Jadi kita harus perhatikan,” ujarnya.

Terkait itu, Dhanis mempertanyakan klaim PT AMI yang mengaku memiliki tambang emas nomor dua terbesar di Indonesia. Terlebih, yang memiliki itu bukan holding-nya, tetapi anak perusahaannya.

“Harus diluruskan dulu, nanti dalam proses di OJK itu semua harus lurus, karena kalau enggak, nanti yang dipermasalakan yang IPO, ya itu holding company-nya,” kata dia.

Dhanis menjelaskan, Indonesia belum mempunyai aturan atau regulasi mengenai holding company. Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT) pun tidak mengatur itu.

“Sering kali saya juga mengkritisi pendirian holding company, tujuan dan maksudnya apa, termasuk juga di BUMN. Ini maksudunya apa?” ucapnya.

Pasalnya, kata dia, jika kemudian holding company dipersoalkan, bukan berarti mempermasalahkan anak perusahaannya juga. Dengan demikian, misalnya kalau holding company-nya digugat, bukan berarti anak perusahaannya juga menjadi tergugat. “Karena ini memang terkotak-kotak sendiri,” katanya.

Sebelum masuk pasar modal, semua persoalan perusahaan harus sudah jelas atau clear, termasuk apakah holding atau anak perusahaannya yang akan IPO. Ia menduga bahwa yang akan di-IPO oleh perusahaan pertambangan tersebut adalah holding company-nya.

“Sangat tidak ideal memang dari hitungan kami dan berkali-kali juga saya sampaikan masukan ini kepada negara, bahkan juga diteliti bahwa sebenarnya yang namanya holding company itu sebaiknya jangan go publik, anak usahanya boleh go public,” katanya.

Karena itu, ketika pemerintah merencanangan holdingisasi perusahaan di bidang keuangan beberapa waktu lalu, Dhanis mengaku kerap menyampaikan bahwa yang boleh go public adalah anak perusahaannya yang sudah untung, bukan holding company-nya.

Kembali ke soal transparansi perusahaan yang akan IPO, kata Dhanis, perusahaan tersebut akan menjual saham ke masyarakat, maka harus transparan mengenai persoalan yang terjadi di dalam.

“Dari informasi yang saya terima, enggak main-main, bidang ketenagakerjaan, bidang lingkungan hidupnya, dan bidang lainnya juga mengenai kemasyarakatan, CSR yang tidak dilaksanakan, ini harus di-clear-kan dahulu,” ujarnya.

“Nanti kalau misalnya IPO, yang dipresentasikan itu holding-nya dan holding-nya itu enggak boleh mengklaim apa yang dimiliki oleh anak perusahaan sebagai miliknya,” ujar dia.

Ia kembali menekankan bahwa harus jelas apakah holding atau anak perusahaannya yang akan di-IPO. “Kok yang ditongolkan adalah memang holding-nya, tapi aset dan kegiatan yang diakui adalah anak perusahaan punya, lah kenapa bukan anak perusahaannya saja yang go public? Kita lebih enak untuk mengkritisinya,” kata dia.

Wakil Menteri Tenaga Kerja (Wamenaker), Afriansyah Noor, dalam diskusi tersebut menyampaikan, pihaknya telah mendapat banyak aduan terkait ketenagakerjaa. terkait perusahaan pertambangan tersebut.

“Kita akan langsung meninjau ke perusahaan tersebut, apa-apa yang menjadi temuan dan dilaporkan kepada kami. Kita akan menerapkan regulasi yang ada di Republik Indonesia ini kepada semua perusahaan investasi,” katanya.

Ia menyampaikan, silakan berinvestasi di Indonesia karena negara membutuhkan, salah satunya untuk menyerap tenaga kerja dalam negeri. Namun demikian, siapa pun yang berinvestasi di suatu negara, tentu harus mengikuti aturan main atau UU yang berlaku di negara tersebut.

“Begitu juga investasi di Republik Indonesia, tentunya harus mengikuti aturan main yang ada di negara kita,” ujarnya.

Oleh karena itu, lanjut Afriansyah, tenaga kerja asing (TKA) di Indonesia harus terdaftar. “Jangan selonong boy saja, jadi harus ikut aturan main di negara kita,” ujarnya.

Menurutnya, tenaga kerja asing yang dikontrak oleh suatu perusahaan di Indonesia, biasanya paling lama 5 tahun untuk mentransfer pengetahuan kepada tenaga kerja Indonesia.

“Habis itu ditransfer, masuk tenaga kerja dari kita. Jadi TKA-TKA ini tidak boleh lama dan tidak boleh panjang di negara ini,” ucapnya.

111