Home Ekonomi Inovasi dan Teknologi Bantu Lindungi Pekerja Ekonomi Gig dari Kerentanan

Inovasi dan Teknologi Bantu Lindungi Pekerja Ekonomi Gig dari Kerentanan

Jakarta, Gatra.com – Meningkatnya jumlah pekerja ekonomi gig (pekerja dengan sistem kontrak jangka pendek) di Indonesia belum disertai dengan tanggapnya kebijakan untuk melindungi mereka dari kerentanan. Padahal, sebagian besar kelompok pekerja ini memiliki status kerja yang lemah karena hanya berpegang pada kontrak berbasis luaran/layanan. Keadaan ini membuat mereka rentan terhadap ketidakpastian dan guncangan ekonomi.

Karena itu, perlu ada upaya untuk melindungi para pekerja dengan karakteristik kerja ekonomi gig. Inovasi dalam teknologi menjadi salah satu kunci untuk membantu mereka keluar dari masalah finansial, kesehatan, dan jaminan hari tua. Pentingnya perlindungan bagi pekerja ekonomi gig ini menjadi topik Forum Kajian Pembangunan (FKP) 2023 – Seri 1 “Inovasi dalam Melindungi Pekerja Ekonomi Gig” yang diselenggarakan secara daring oleh The SMERU Research Institute (SMERU) pada Rabu, 7 Juni 2023.

Dalam paparannya, peneliti senior SMERU, Palmira Permata Bachtiar menegaskan para pekerja ekonomi gig perlu memahami sumber-sumber kerentanan mereka. “Selain guncangan ekonomi, sumber kerentanan lain yang dihadapi kelompok pekerja ini yaitu stres dan waktu kerja yang terlalu tinggi, kejahatan cyber dan pencurian data pribadi, jebakan keterampilan (skill trap), bias gender dari konsumen, dan lain-lain,” ujar Palmira.

Namun, di kalangan pekerja gig sendiri, kesadaran akan kerentanan tersebut masih rendah. Oleh karena itu, diperlukan upaya dari berbagai sisi untuk meningkatkan kesadaran tersebut, termasuk dalam hal perlindungan. “Para pekerja ini harus sering melihat kasus-kasus pentingnya memiliki jaminan, misalnya dari media masa. Selain itu, pemberi layanan BPJS Ketenagakerjaan perlu menjemput bola dan menggunakan champion di antara para pekerja gig untuk menyebarluaskan informasi tentang pentingnya memiliki perlindungan bagi mereka,” kata Palmira.

Pandemi COVID-19 merupakan salah satu contoh guncangan ekonomi yang terjadi beberapa waktu lalu. Menurut ekonom World Bank, Putu Sanjiwacika Wibisana, pada masa pandemi COVID-19, semua pekerja gig mengalami penurunan pendapatan, tetapi yang paling terdampak adalah pekerja gig di sektor transportasi karena sifat pekerjaan mereka yang berbasis lokasi dan bergantung pada pertemuan dengan orang lain—yang menjadi terbatas karena adanya pembatasan sosial.

Sanji menambahkan, kemajuan teknologi juga bisa menghilangkan pekerjaan manual dan memunculkan pekerjaan baru dengan kebutuhan skill yang berbeda. Menurutnya, semua jenis pekerja perlu meningkatkan keterampilan mereka secara konsisten agar tetap relevan di pasar kerja. Namun, peningkatan keterampilan ini membutuhkan biaya dan waktu. “Selain sebagai jaminan saat terjadi krisis, program perlindungan sosial juga dapat mendukung peningkatan keterampilan pekerja dengan menyediakan sumber pendapatan alternatif saat mereka mengalokasikan waktu untuk pelatihan atau pendidikan,” Sanji menerangkan.

Inovasi dan Teknologi Berperan Besar dalam Membantu Pekerja Ekonomi Gig Mengakses Perlindungan Sosial

Pada 2019, terdapat sekitar 2,2 juta pekerja yang bisa dikategorikan sebagai pekerja ekonomi gig di Indonesia (Bachtiar, Berlianto and Amelia, 2023). Pengamat ketenagakerjaan Indonesia, Reytman Aruan mengatakan, era teknologi digital telah mengubah lanskap kerja secara signifikan. Dengan kemajuan teknologi digital, pekerja gig dapat memanfaatkan platform online untuk menawarkan layanan mereka dan mendapatkan penghasilan.

Perlindungan pekerja ekonomi gig perlu melibatkan pemangku kepentingan yang lain, mulai dari peneliti, penyedia platform, dan juga Forum Kajian Pembangunan kesadaran pekerja itu sendiri. Reytman mengatakan, pemerintah, perusahaan, dan organisasi pekerja harus bekerja sama untuk mengembangkan kerangka kerja yang memperhitungkan kebutuhan pekerja ekonomi gig. Perlindungan ini meliputi perlindungan ekonomi, perlindungan teknis, dan perlindungan sosial.

Di sisi lain, Deputi Direktur Bidang Project Management Office, BPJS Ketenagakerjaan, Eka Kartika mengatakan, lembaganya telah melakukan sejumlah cara untuk menjangkau kelompok pekerja ini. “Selain melalui kantor-kantor cabang, kami juga menggunakan perantara untuk mencari pekerja yang sulit dijangkau. Kami juga bergerak ke arah digital, di antaranya bekerja sama dengan marketplace yang dapat digunakan pekerja untuk mendaftar BPJS Ketenagakerjaan sekaligus membayar iurannya. Kami juga aktif melakukan edukasi melalui akun-akun media sosial BPJS Ketenagakerjaan,” Eka menjelaskan.

Setidaknya ada dua prinsip dalam perlindungan bagi pekerja ekonomi gig, salah satunya collective action, yaitu memastikan para pemangku kepentingan menyediakan skema perlindungan dan bantuan untuk membantu meringankan kerentanan yang dihadapi pekerja ekonomi gig. Contohnya seperti yang telah dilakukan Gojek—perusahaan teknologi yang menyediakan berbagai layanan berbasis aplikasi—melalui Program Gojek Swadaya.

Program yang sudah berlangsung sejak 2016 itu bertujuan membantu para mitranya dengan memberikan akses kepada layanan jasa keuangan, seperti perbankan dan asuransi, cicilan otomatis yang terjangkau, diskon untuk kebutuhan seharihari, hingga kesempatan berbisnis untuk meningkatkan pendapatan keluarga. Salah satu yang menjadi inovasi dari program ini dengan memungkinkan mitra untuk membayar biaya premi asuransi kesehatan pribadi secara harian dan juga fasilitasi untuk keikutsertaan mitra di dalam BPJS Ketenagakerjaan.

Mulyono, salah satu mitra Gojek yang telah menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan sejak tahun 2016, menyampaikan bahwa dirinya merasa sangat terbantu dengan mudahnya akses terhadap produk asuransi yang disediakan program Gojek Swadaya. “Semua dari mulai BPJS Ketenagakerjaan dan asuransi kesehatan bisa saya cek langsung di aplikasi driver GoPartner yang saya pakai untuk ambil orderan, jadi gampang untuk saya cek,” ujarnya.

130