Home Nasional YLBHI Desak DPR untuk Tak Lagi Culas dalam Merevisi UU ITE

YLBHI Desak DPR untuk Tak Lagi Culas dalam Merevisi UU ITE

Jakarta, Gatra.com - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai, proses revisi undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menambah rekor buruk pemerintah dalam mencederai demokrasi. Seperti yang diketahui, Komisi I DPR RI sedang mengebut proses revisi UU ITE agar dapat rampung dalam waktu dekat.

Wakil Ketua Bidang Advokasi dan Jaringan YLBHI, Arif Maulana mengatakan,revisi UU ITE harus dapat menghapus pasal-pasal karet yang seringkali digunakan untuk merepresi kemerdekaan berpendapat dan berekspresi. Hal ini menjadi urgensi melihat kondisi demokrasi Indonesia yang terus memburuk dari tahun ke tahun.

"Kita mendorong revisinya itu yang memastikan bahwa UU ITE ini tidak lagi dijadikan nanti ke depan, ya alat pukul untuk warga yang kritis kepada pemerintah," ucap Wakil Ketua Bidang Advokasi dan Jaringan YLBHI, Arif Maulana dalam konferensi pers secara daring pada Rabu (12/7).

Arif menyebutkan, masih ada sejumlah pasal bermasalah dalam UU ITE yang harus diselesaikan secara tuntas oleh Komisi I DPR RI, yang diberi mandat untuk melaksanakan revisi yang kedua ini.

"Di antaranya pasal 26, 27, 28, 29, termasuk juga pasal 40 yang itu justru mengancam hak korban. Misalkan, korban pelecehan seksual di pasal 27 ayat 1," kata Arif.

Pasal 27 ayat 3 juga dinilai bermasalah dan mengancam kemerdekaan berpendapat berekspresi. Begitu juga dengan pasal 28 yang dinilai sangat multitafsir. Lalu, ada juga pasal 40 yang disebut mengancam kebebasan pers.

Disamping itu, YLBHI dan koalisi masyarakat sipil lainnya sudah berusaha menyampaikan masukan terkait revisi UU ITE yang selama ini banyak digunakan elit untuk mempidanakan warga sipil. Namun, proses revisi UU ITE berjalan tertutup dan masyarakat kesulitan untuk mengikuti perkembangannya.

"Kita dihadapkan pada situasi buruk. Praktik culas, praktik ugal-ugalan pembentukan perundangan-undangan yang menjadi habit pemerintah dan DPR," ucap Arif Maulana.

Revisi UU ITE bukanlah praktik pertama. Arif mengatakan, kebiasaan buruk pemerintah ini sudah terlihat sejak lama. Sebut saja, UU Omnibus Law Cipta Kerja, Minerba, UU MK, dan UU KPK.

"Terakhir, kita disuguhkan RUU Omnibus Law Kesehatan yang nir partisipatif, otoritarian proses pembentukannya," ucap Arif lagi.

Menanggapi pola buruk yang dinilai mencederai demokrasi ini, YLBHI dan 18 LBH Kota mendesak pemerintah, terutama Komisi I DPR RI untuk menghormati kedaulatan rakyat dengan membuat proses revisi UU ITE menjadi terbuka dan melibatkan partisipasi masyarakat. 

"Harapan kita supaya UU ITE ini betul-betul direvisi dengan benar sehingga hasilnya nanti pengaturannya adalah pengaturan yang adil, yang sesuai dengan tujuannya, melindungi hak warga negara," kata Arif lagi.

102