Home Gaya Hidup Pameran di Jagad Gallery, Melampaui Elastisitas: Karet dan Realitas Sosial

Pameran di Jagad Gallery, Melampaui Elastisitas: Karet dan Realitas Sosial

Jakarta, Gatra.com - Catur Nugroho memboyong sembilan panel gambar ke pameran “Beyond Elasticity: Rubber and Materiality” di Jagad Gallery, Jakarta. Pada karya berjudul “Sajak-sajak Petani Karet” itu, Catur menggunakan cairan lateks yang dipadu dengan kerangka jaring kawat sebagai material tempat ia mencetak karya fotografinya.

Pada lateks tersebut, sosok-sosok penyadap karet menjadi siluet putih seolah sosok yang pudar. Dipadu dengan warna biru yang samar dan melankolis, karya ini seperti datang dari masa lalu, atau masa kini yang tidak berubah dan tetap seperti masa lalu. Seperti gambaran nasib para penyadap karet yang sejak dahulu hingga sekarang tidak kunjung berubah.

Karya Catur menjadi satu dari beragam karya yang dibuat 11 seniman di Jagad Gallery pada pameran yang berlangsung 17 Mei sampai 30 Juni 2024 ini. Para seniman tersebut merespon material karet sebagai basis karya seni. Selain Catur Nugroho, ada seniman Agus Suwage, Anusapati, Dolorosa Sinaga, Elyezer, Handiwirman, Iwan Yusuf, Maharani Mancanegara, Septian Harriyoga, Suvi Wahyudianto, dan Yuli Prayitno.

Baca Juga: Dialog Tubuh dan Kursi dalam Performa Kinestetik Membuka Road to Artjog 2024

Pemilihan material karet sebagai medium karya dilakukan bukan tanpa alasan. Pameran ini merupakan hasil residensi belasan seniman tersebut ke daerah Tulang Bawang Barat (Tubaba) di Lampung. Mereka diminta untuk berkarya menggunakan karet alam (lateks cair dan lembaran karet) dan diberi kebebasan untuk memadukannya dengan material lain. Karet adalah material yang lekat dengan masyarakat Tubaba.

Mengutip pernyataan Umar Ahmad, Bupati Tubaba 2017-2022, dalam sambutannya menyebut karet sebagai dapurnya orang Tubaba. Sejak suara adzan subuh dikumandangkan, kebun-kebun karet yang tadinya gelap gulita, mulai disinari titik-titik cahaya dari headlamp sepasang suami-istri petani. Mereka menyadap hingga matahari sepenggalah.

“Saat otoritas dan stakeholder belum juga memberikan solusi pada masalah para petani karet, saya memilih memungut cerita-cerita kecil yang berserakan dari sekitar. Pada Tubaba Art Festival, festival tahunan kami, tahun lalu saya mengajak petani, pengepul karet dan seniman untuk merefleksikan narasi-narasi kecil di seputar persoalan karet,” kata Umar Ahmad.

Ide ini kemudian diwujudkan dalam bentuk residensi yang berujung pada pameran di Jagad Gallery saat ini. Setiap seniman mendapatkan selembar rubber sheet sepanjang 5 m, lebar 0,5 m, dengan kualitas yang kurang baik, tebal dan permukaannya bertekstur kasar (banyak mengandung kotoran) berwarna coklat tua. Mereka diminta membuat karya dari material ini.

Karya Yuli Prayitno “Terganjal, Gulung Karet” di Jagad Gallery (Gatra/Hidayat Adhiningrat P.)

Residensi dan pameran ini menempatkan karet alam dalam perbincangan materialitas dalam konteks seni rupa kontemporer. Hal itu juga menyangkut budaya material dalam konteks sosial-politik-ekonomi.

Agus Suwage menampilkan karya berjudul “Jejak Getah” yang menampilkan kekuatan naratif. Karyanya dibangun dari dua komponen utama, yaitu lukisan dan potongan karet. Bagian lukisan menampilkan citra dua penyadap karet perempuan, dengan dua siluet putih yang sebangun, membuatnya jadi seperti “hantu” masa lalu. Adapun potongan karetnya membentuk angka tahun 1864-2024. Tahun 1864 adalah tahun awal penanaman karet di Indonesia.

Dolorosa Sinaga menampilkan karya berjudul “Land Grabbing Caused Poverty”. Sosok metalik ringsek berbaring dengan alas lembaran karet kasar dan gelap. Di tengahnya ada buku terbuka, tersimpan tepat di dadanya. Sosok metal yang tangguh dan keras itu seperti tidak berdaya, pasrah dan kalah. Mungkin ketangguhannya luruh karena dilucuti dan dilindas oleh kekuatan kapital.

Karya Dolorosa Sinaga “Land Grabbing Caused Poverty” di Jagad Gallery (Gatra/Hidayat Adhiningrat P.)

Karya Handiwirman, Yuli Prayitno, Septian Harriyoga dan Iwan Yusuf cenderung menempatkan material karet sebagai potensi bentuk dan rupa. Handiwirman dan Yuli menggunakan rubber sheet yang dibagikan pada mereka dalam bentuk apa adanya: gelap dan kasar.

Karya Handi berupa gulungan karet yang kenyal dihimpit oleh bongkah patung dada manusia di bagian atas, dan dua tumpuk kardus di bagian bawah. Baik patung dada maupun kotak kardus tampil seperti bongkahan pasir, tampak natural seperti juga gulungan karet.

Ada juga karya Septian Hariyoga berjudul “Diskusi di Hutan Karet,” yang menunjukkan kumpulan burung gagak dengan kerangka tubuhnya terbuat dari alumunium dan terbungkus oleh lembaran karet yang menjadi bagian luar tubuh. Bahan alumunium yang pejal dan mengkilap seperti menggambarkan ketangguhan burung gagak. Sementara lembaran karet, yang lunak namun kenyal, merefleksikan ketangkasannya.

Baca Juga: Museum MACAN Segera Hadirkan CARE: Pameran Tunggal Pertama Patricia Piccinini di Indonesia

Menurut Septian, burung-burung gagak hidup sejahtera di sekitaran pohon karet, sebagaimana yang tampak di kebun-kebun karet Tubaba. Gambaran burung gagak yang bergerombol dan sentosa menjadi ironi pada kenestapaan para penggarap kebun karet di bawahnya yang kepayahan dan berpeluh.

Kurator pameran, Asmudjo Irianto, mengatakan bahwa karya-karya hasil residensi dalam pameran ini, dapat dibagi dalam dua kelompok. Yang pertama adalah narasi sejarah menyangkut keberadaan produksi karet alam dalam konteks sosial-politik. Kedua adalah aspek formal menyangkut karakter bentuk dan rupa karet alam.

Kecenderungan bentuk dalam karya-karya pada pameran ini berbeda dengan modernis-formalis Barat, yang esensialis, reduksionis dan self referential (sebagaimana ditunjukkan dalam seni lukis modern Barat). Karya-karya yang fokus pada karakter karet alam juga menunjukkan kekuatan asosiatif dan metafora.

Asmudjo Irianto di depan karya Agus Suwage “Jejak Getah” di Jagad Gallery (Gatra/Hidayat Adhiningrat P.)

Hal itu ditunjukkan dengan luwesnya para seniman dalam kecenderungan bentuk untuk mencampurkan material karet dengan material lain. Karena itu kecenderungan bentuk dalam pameran ini, pun dapat masuk ke dalam kelompok pertama, dan sebaliknya.

Asmudjo juga menjelaskan, konteks menjadi bagian penting dari karya-karya yang dipamerkan, dan berkaitan dengan konten, yang menjadi refleksi kritis dari implikasi sejarah, sosial, politik dan ekonomi keberadaan karet sebagai komoditas perkebunan di Indonesia. Pada kenyataannya, ekosistem pasar yang ada di dalam pembentukan industri ini tidak pernah memihak pada para petani.

"Para seniman dalam pameran ini mengangkat narasi persoalan para petani karet, sebagai bentuk refleksi kritis dalam karyanya. Namun, tentu saja karya-karya seniman ini bukan sekadar laporan, jauh dari itu, karena mereka tetap mementingkan gagasan bentuk, rupa serta metafora, yaitu potensi estetiknya sebagai salah satu urgensi seni rupa kontemporer," katanya.

417