Home Gaya Hidup Estetika Adorno dalam Karya Suvi Wahyudianto di GoetheHaus Foyer

Estetika Adorno dalam Karya Suvi Wahyudianto di GoetheHaus Foyer

Jakarta, Gatra.com - Ada objek pesan dalam botol dalam kotak panggung berlatar lukisan laut yang tampak usang. Suvi Wahyudianto berdiri di atasnya sembari membacakan sebuah catatan panjang dalam pembukaan pameran tunggalnya di GoetheHaus Jakarta, 4 Juni 2024 lalu. Selembar foto hitam putih tergeletak di lantai panggung. Tepat di depan Suvi, cahaya bohlam lima watt yang terpasang pada tiang mikrofon menerpa wajahnya.

Di panggung itu Suvi memberikan performance lecture selama satu jam. Di penghujung ceramah ia mengutip apa yang diisyaratkan oleh estetika Adorno, filsuf asal Jerman yang terkenal itu: "Untuk bertahan dalam kenyataan yang paling ekstrim dan suram, karya seni yang tidak ingin menjual dirinya sebagai penghiburan harus menyamakan dirinya dengan kenyataan tersebut. Seni yang secara radikal identik dengan warna hitam."

Baca Juga: Sinergi Seni dan Alam: Eugene Museum akan Buka di Bali pada 2026

Kotak panggung itu, setelah digunakan sebagai tempat performance lecture, kemudian dipamerkan di GoetheHaus mulai 5-23 Juni 2024. Pameran ini diberi tajuk "Setelah Pertunjukan Itu..! Pasca Perayaan: Antinomi Kematian". Selain kotak panggung, pameran ini juga menampilkan 20 karya ilustrasi Pasar Sapi Blega, Bangkalan, dan lima karya fotografi Suvi yang menggambarkan fragmen-fragmen perjalanannya.

Karya Sketsa Suvi Wahyudianto di Goethe Institut (Gatra/Hidayat Adhiningrat P.)

Seri pameran GoetheHaus Foyer yang diinisiasi Goethe institut Indonesien kali ini telah memasuki edisi tahun keduanya. Pada tahun ini, program pameran berfokus pada topik "Utopia" dan wacana yang berkelindan dengan frasa tersebut. Presentasi tunggal seniman asal Madura Suvi Wahyudianto menjadi pembuka edisi kedua GoetheHaus Foyer.

Suvi Wahyudianto adalah seniman muda yang lulus Magister Seni Rupa dari Institut Teknologi Bandung. Pada 2018, ia meraih penghargaan UOB Painting of the Year untuk karyanya "Angs't", media campuran yang menanggapi pengalaman personal dan ingatan kolektif tentang konflik sosial. Pada 2021, Suvi menerima Young Artist Award Artjog MMXXI untuk karyanya "Telepresance After 20th".

Baca Juga: Menggali Akar Budaya Melalui Seni: Pameran Tunggal Sasya Tranggono From 'Jakarta With Love'

Praktik artistik Suvi selama ini mengeksplorasi bahasa visual dan pendekatan puitis, mengurai isu politik identitas dan ketegangan sosial- budaya. Melalui kajian tekstual, sejarah partisipatoris, dan autoetnografi, ia menciptakan narasi tandingan dan mendorong rekonsiliasi serta kesadaran empatik pasca konflik.

Pameran “Setelah Pertunjukan itu. Pasca Perayaan Antinomi Kematian” adalah bagian dari rangkaian pengalaman dan ingatan Suvi. Sebelumnya ia telah menyusuri kembali masa lalu, dalam hal ini adalah konflik etnis suku Madura dan Dayak di Sambas, Kalimantan Barat, yang terjadi pada 1999. Suvi kemudian melakukan pengembaraan pada 2023 melalui perjalanan darat dari Madura, melintasi laut Jawa menuju Kalimantan Barat.

Suasana Pameran Setelah Pertunjukan itu. Pasca Perayaan Antinomi Kematian di Goethe Institut (Dok.  Suvi Studio)

Dalam proses riset untuk produksi karya ini. Suvi mengisahkan bahwa dirinya bekerja dengan konteks wacana, terutama wacana konflik politik identitas lima tahun lamanya. Tepat di tahun sebelum perjalanannya dia bertemu dengan seorang sahabat keturunan Dayak.

Mereka berdua melakukan perjalanan sepanjang Pulau Madura dan mengarungi Laut Jawa menuju Sambas untuk mencoba menjawab ketakutan mereka sebagai “generasi kedua setelah konflik pecah”. “Dan di atas laut, kami banyak melihat fragmen-fragmen karena saya memilih satu utopia yang akan kita kabarkan melalui udara, melalui air, dan angin-angin. Pada akhirnya karya ini adalah satu pernyataan bagi kami,” ucap Suvi.

Suvi membakukan ingatan dan pengalaman tersebut menjadi pesan dalam botol sebagai rangkaian fragmen yang dibuang dalam sejarah dan berharap pesan itu akan ditemukan oleh seseorang di masa depan. Doa, cinta dan harapan yang tertulis di pesan dalam botol dibagikan kembali oleh Suvi dalam medium pertunjukan-ceramah.

Menggunakan tubuh dan teks, serta berbagai karya seni rupa kontemporer lainnya, karya-karya ini menjadi perwujudan subjek yang kritis, merefleksikan mimpi Utopia dan mendekonstruksi segala representasinya. Melalui pameran ini Suvi atau mungkin kita semua tengah menunggu, menagih janji-janji masa lalu, dan harapan masa depan untuk kehidupan yang lebih baik.

Direktur Goethe-Institut Indonesien, Dr. Stefan Dreyer, mengatakan bahwa belakangan ini ada banyak catatan, pengamatan, dan interpretasi mengenai “utopia”. Istilah dan konsep “utopia” dapat dilekatkan pada beragam isu seperti gerakan mengenai kesetaraan gender hingga perenungan kehidupan.

“Para seniman diundang terlibat dalam GoetheHaus Foyer untuk memanifestasikan interpretasi mereka terkait topik utopia. Kami menyambut Suvi sebagai seniman pertama yang terpilih dalam program GoetheHaus Foyer 2024,” kata Stefan Dreyer.

192