Home Kolom Dari Jokowi ke Prabowo: Keberlanjutan Hancurnya Bumi Manusia

Dari Jokowi ke Prabowo: Keberlanjutan Hancurnya Bumi Manusia

Penulis: Meilanie Buitenzorgy, Ph.D

Dosen Ekonomi Lingkungan salah satu PTN di Indonesia

 

Jakarta, Gatra.com – Lukisan karya Sigit Santoso ini viral beberapa hari ini. Netizen berlomba membaca makna dari setiap komponen lukisan. Ada pria yang berdandan ala Raja Surakarta, kelelawar, keris terhunus, anjing berkepala dua hingga kegelapan gerhana yang mengadang di depan.

Bagi para pemerhati permasalahan lingkungan, sosial dan ekonomi, mungkin komponen yang paling menarik dari lukisan itu adalah gerhana dan jari tengah yang mengarah ke Bumi. Bumi manusia.

Apakah ini adalah ekspresi kegundahan sang pelukis? Akan penguasa yang tak peduli akan nasib rakyat kecil? Dan terus menelurkan kebijakan-kebijakan yang merusak Bumi sekaligus memiskinkan manusia?

Kompetensi Jokowi dan segenap jajarannya dalam mengelola sumberdaya alam dan lingkungan (SDAL) Indonesia patut dipertanyakan. Bagaimana mungkin pemerintah dari Negara terbesar keempat di dunia tidak paham konsep utama pengelolaan sumberdaya alam, yaitu eksternalitas.

Berbagai kerugian, kerusakan hingga kehilangan nyawa yang terjadi akibat berbagai mega-proyek yang dijalankan ugal-ugalan tidak dianggap sebagai kerugian negara, tapi dibebankan begitu saja kepada rakyat.

Berbagai mega-proyek dilaksanakan tanpa didahului kajian AMDAL yang memadai sekaligus nyaris tanpa pelibatan konsultasi publik. Hilirisasi tambang, IKN, dan food estate adalah tiga program andalan periode kedua rezim pemerintahan Presiden Jokowi.

Ketiga mega-proyek ini digadang-gadang sebagai solusi berbagai permasalahan Bangsa: polusi, kemiskinan, ketimpangan, dan krisis pangan. Namun yang terjadi malah sebaliknya. Proyek-proyek ini meracuni masyarakat maupun flora-fauna lokal, meningkatkan kemiskinan dan ketimpangan, menyebabkan bencana hingga menghilangkan sumber-sumber pangan dan mata pencarian penduduk lokal.

Proyek strategis nasional (PSN) hilirisasi nikel yang dimulai tahun 2020 terus dibalut dengan jargon nasionalisme. Indonesia akan menjadi pemain utama industri mobil listrik global. Inilah proyek yang akan mengangkat harkat dan martabat Bangsa dengan pertumbuhan ekonomi fantastis sekaligus penurunan emisi.

Namun, apa yang terjadi di lapangan? Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2023 menunjukkan, pemiskinan terparah se-Indonesia justru terjadi di provinsi sentra penghasil dan pengolah nikel, yaitu Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah. Angka kemiskinan naik sebesar 0,16% di Sulawesi Tenggara dan 0,11% di Sulawesi Tengah.

Pada periode yang sama, angka kemiskinan juga naik di provinsi sentra hilirasi nikel ketiga yaitu Maluku Utara. Artinya, angka pertumbuhan ekonomi fantastis dan keuntungan rantai pasok nikel di provinsi-provinsi tersebut hanya dinikmati oleh segelintir pihak, yaitu para pengusaha nikel dan penguasa. Namun justru memiskinkan, meracuni sekaligus menciptakan beragam penderitaan bagi rakyat setempat dan Bumi yang dipijaknya.

Hasil-hasil kajian para peneliti, akademisi, dan berbagai lembaga termasuk Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menunjukkan kawasan industri nikel mengubah bentang alam dan mencemari perairan laut Sulawesi dan Halmahera; merampas dan mengorbankan ruang hidup warga setempat, dari lahan pertanian, wilayah tangkap nelayan hingga kawasan hutan.

Aliran air dari hulu di gunung, sungai-sungai yang membelah hutan, sampai ke pesisir dan lautan berubah warna menjadi oranye akibat limbah nikel.

Di Morowali, Sulawesi Tengah, ratusan hektare sawah terkena limpasan lumpur tambang nikel yang mengakibatkan panen warga setempat turun drastis. Sumber-sumber air bersih, tambak-tambak ikan dan usaha rumput laut warga pun tak luput dari pencemaran limbah nikel. Desember lalu, ledakan smelter nikel di Morowali menyebabkan belasan pekerja tewas.

Hasil penelitian Center of Economic and Law Studies (CELIOS) dan Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) menyimpulkan 80% emisi di Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara berasal dari pengolahan nikel. Emisi zat pencemar pabrik nikel ini diperkirakan akan menyebabkan 3800 kematian di ketiga provinsi pada tahun 2025.

Hilirasi nikel juga mengakibatkan kehilangan masif tutupan hutan dan keanekaragaman hayati yang menjadi ruang hidup dan penghidupan sebagian anak bangsa di sentra-sentra nikel.

PSN berikutnya adalah Ibu Kota Nusantara (IKN). Dibungkus dengan jargon ibu kota masa depan Indonesia yang ramah lingkungan, high-tech, dan menjadi solusi pemerataan pembangunan. Namun apa yang terjadi di lapangan?

Berbagai media dan lembaga kajian telah melaporkan berbagai pelanggaran terhadap kemanusiaan, pemiskinan rakyat kecil dan aktivitas penghancuran terhadap alam dan lingkungan Kalimantan atas nama IKN.

Tak sedikit masyarakat lokal yang terusir dan kehilangan mata pencarian karena tanah mereka terkena proyek IKN tanpa ganti rugi yang layak. Dengan ganti rugi tak seberapa, ada yang harus pindah ke wilayah lain yang berjarak hingga 9 jam perjalanan dari bekas tempat tinggal mereka di wilayah IKN.

Mereka harus berjuang sendiri menata hidup baru dari nol, tanpa bantuan dari Pemerintah. Ini sungguh kontras dengan bagaimana pemerintah Komunis China memperlakukan warga lokal yang kebanyakan para petani, saat akan membangun Zona Ekonomi Spesial di distrik Pudong, bagian timur Kota Shanghai, di era 1990-an lalu.

Banyak petani miskin yang jadi kaya mendadak karena pemerintah mengganti tanah mereka dengan beberapa unit apartemen mewah sekaligus. Mereka tak tersingkir dari tanah mereka. Mereka justru dimuliakan oleh Pemerintah Komunis.

Tak hanya manusia yang dikorbankan demi ambisi ibu kota baru Jokowi. Tumbuhan langka mangrove kuning yang dikeramatkan penduduk setempat hingga hewan langka pesut di Teluk Balikpapan terancam punah. Akibat brutalnya kegiatan pemasokan berbagai kebutuhan logistik IKN lewat Teluk Balikpapan, nelayan setempat pun makin miskin akibat makin menipisnya stok ikan.

Inilah mungkin sesungguhnya wujud nyata dari kebijakan yang “lebih Komunis daripada Komunis”

Menurut WALHI, selain pesut, total 23 fauna endemik yang terancam punah akibat aktivitas pembukaan lahan IKN, termasuk orangutan, dan bekantan.

Alangkah ironis jika Provinsi Kalimantan Timur harus kehilangan pesut yang menjadi simbol kebanggaan provinsi tersebut, gara-gara ibu kota baru yang dibangun ugal-ugalan.

Tata kelola ugal-ugalan dalam berbagai sektor telah menjadi ciri khas pemerintah Jokowi akhir-akhir ini. Kesehatan dan nyawa warga yang terdampak tampaknya tidak penting bagi pemerintah. Operasi proyek-proyek strategis nasional dibiarkan berjalan brutal, bengis, dan mematikan terhadap manusia dan alam.

Tak penting bagi pelukis Sigit Santoso untuk menujukkan wajah si penguasa berbalut busana Raja Surakarta tersebut. Namun kita dapat merasakan aura kebengisan penguasa tersebut dari balik punggungnya. Dapat membaca aura mematikan dari hunusan kerisnya.

Lukisan kegelapan gerhana di hadapan sang penguasa berbaju Raja Surakarta seakan mewakili kekhawatiran banyak pihak atas masa depan SDAL Indonesia di tangan Presiden terpilih Prabowo Subianto yang akan dilantik Oktober mendatang.

Kekhawatiran karena ia dan Wapres terpilih Gibran Rakabuming, putra Jokowi, bertekad melanjutkan program-program Jokowi. Keberlanjutan menjadi tagline pasangan ini. Tanpa mereka pernah menunjukkan kepedulian atas berbagai kerusakan terhadap kemanusiaan dan alam yang ditimbulkan program-program Jokowi yang akan mereka lanjutkan itu.

Track record Prabowo sebagai Menteri Pertahanan tidak memberikan titik terang atas kekhwatiran berlanjutnya kerusakan alam dan kehancuran kehidupan rakyat kecil. Proyek strategis nasional food estate yang digarap Kementerian Pertahanan sejak 2020 justru semakin mengukuhkan gambaran akan berlanjutnya kerusakan tersebut.

Aktivitas pembukaan lahan gambut proyek food estate tidak saja berakibat hilangnya mata pencarian penduduk setempat yang sebagian menggantungkan hidupnya pada hasil hutan. Namun juga telah mengakibatkan berbagai bencana yang memiskinkan warga setempat, dari kebakaran hutan hingga banjir.

Banyak pihak termasuk partai politik menengarai proyek food estate ini sebagai kejahatan lingkungan. Begitulah. Lukisan gerhana Sigit itu menggambarkan Keberlanjutan yang gelap. Keberlanjutan hancurnya Bumi Manusia.

*Tulisan ini adalah pandangan pribadi penulis yang tidak merepresentasikan pandangan institusi tempat penulis bekerja.

70