Home Politik Modus Korupsi Makin Berkembang, UU KPK Harus Direvisi

Modus Korupsi Makin Berkembang, UU KPK Harus Direvisi

Jakarta,Gatra.com- Direktur Politik Hukum Wain Advisory Indonesia, Sulthan Muhammad Yus menilai, revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sangat diperlukan. Pasalnya, persoalan dan modus korupsi saat ini semakin berkembang, dibandingkan sejak pertama kali dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK.

“Persoalan korupsi, modus, dan lain-lain terus berkembang. Yang dikhawatirkan adalah undang-undangnya yang ketinggalan,” ujar Sulthan, Sabtu (7/9).

Sulthan menuturkan, revisi UU KPK diperlukan lantaran kasus korupsi terus bertambah setiap tahunnya. Ia menduga hal itu terjadi lantaran KPK terlalu fokus melakukan penindakan ketimbang pencegahan. Padahal, ia menilai, seharusnya KPK menjalin kerja sama dengan banyak pihak untuk mencegah kebocoran anggaran.

“Kita sudah memberikan waktu selama 17 tahun. Ayo dong sekali-kalo kita coba sekarang pencegahan, artinya apa sistem yang dibangun,” ujarnya.

DPR sebelumnya sepakat mengambil inisiatif revisi UU KPK. Para wakil rakyat itu telah menyusun draf rancangan revisi UU KPK dan disetujui dalam rapat Baleg. Setidaknya terdapat enam poin pokok perubahan dalam revisi UU KPK. Beberapa poin pokok itu berkaitan dengan keberadaan dewan pengawas, aturan penyadapan, kewenangan surat penghentian penyidikan perkara (SP3), status pegawai KPK, serta kedudukan KPK sebagai penegak hukum cabang kekuasaan eksekutif. Selain itu, posisi KPK selaku lembaga penegak hukum dari sistem peradilan pidana terpadu di Indonesia.

Rencana revisi UU KPK ini langsung dikritik oleh sejumlah pihak, mulai dari Indonesia Corupption Watch (ICW) sampai KPK. Bahkan Ketua KPK Agus Rahardjo menyatakan, KPK sedang berada di unjuk tanduk.

Lebih lanjut, kata Sulthan, selain pencegahan, kewenangan penyadapan yang dimiliki oleh KPK juga tidak diawasi. Ia mengamati, selama ini KPK bebas menyadap tanpa ada pihak yang mengontrol dan mengawasi. Menurutnya, ketiadaan pengawasan, membuka potensi berbagai pelanggaran.

“Kita tidak pernah tahu, seseorang itu berapa lama dia disadap alat komunikasinya. Berapa lama dia disadap pembicaraannya, atau orang 1x24 jam. Semua bicara masalah korupsi, kan tidak. Ada privasi keluarga di situ, ada hutang piutang dan sebagainya. Selama ini bagaimana itu, kita kan tidak pernah tahu yang di luar KPK. Alasannya, dia ambil yang menjadi alat bukti dia bawa ke persidangan, tetapi untuk mendapatkan itu ada berapa hak-hak orang yang dilanggar,” ujarnya.

Oleh sebab itu, ia menyarankan, perlu ada pembatasan masa penyadapan, misalnya 3 sampai 6 bulan. Selain itu, ia menyarakan, ada pihak yang memberi izin kepada KPK sebelum melakukan penyadapan.

“Terserah apa mau diberikan ke dewan pengawas kalau di dalam draf revisi atau mau dikasih ke ketua pengadilan juga tidak masalah,” ujar Sulthan.

Lebih lanjut, Sultah mengatakan, kekhawatiran KPK seputar adanya kebocoran. Terutama apabila penyadapan memerlukan izin dari pihak luar. Ini hanya asumsi yang sengaja dibangun. Secara logika, ia menyebut, tidak ada pihak eksternal yang membuat KPK bertidak sewenang-wenang.

“Kita belum pernah mencoba sebenarnya bagaimana penyadapan ini. Bagaimana ini, kita kan enggak pernah tahu. Sama sekali tidak tahu berapa lama. Kemudian, setelah itu file-nya dikemanakan. Saya pikir ini momentum yang paling tepat untuk buka-bukaan,” ucapnya.

 

151