Home Kolom Menelusuri Jejak Ideologi PDI Perjuangan

Menelusuri Jejak Ideologi PDI Perjuangan

 

Oleh: Imam Nawawi*


Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan salah satu partai politik terbesar di Indonesia. Pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2019, PDI Perjuangan meraup 27,503,961 atau 19,33% dari total suara pemilih dengan 128 kursi. Menariknya, PDI Perjuangan sebagai partai berhaluan nasionalis mampu menancapkan pengaruhnya di berbagai basis massa berbeda.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyebutkan, dua suara terbanyak pendukung PDI Perjuangan berbasis di Bali dan Banten III. Di Bali, PDI Perjuangan berhasil meraup 1,244,233 suara; jauh melampaui partai-partai nasionalis lainnya, seperti Golkar (377,362 suara), Demokrat (117,100 suara), Gerindra (109,491 suara), maupun Nasdem (102,712 suara).

Persaingan partai-partai nasionalis ini, baru terlihat dinamis di wilayah Banten. Di Banten I dan Banten II, PDI Perjuangan tidak berkutik. Tetapi, di Banten III, PDI Perjuangan membayar lunas kekalahannya di dua wilayah lain.

Di Banten I, PDI Perjuangan hanya mampu meraup suara sebesar 139,750 jauh di bawah: Gerindra (222,111), Demokrat (175,496), maupun Golkar (141,892). Di Banten II, suara PDI Perjuangan semakin kecil, yaitu hanya 122,591 suara; jauh di bawah Gerindra (226,698), Golkar (161,423), dan Demokrat (126,364).

Namun, kekalahan tipis tersebut dibayar lunas oleh PDI Perjuangan di Banten III. PDIP mampu menggalang massa pendukung yang sangat besar, yaitu: 1,743,493 suara; di atas Gerindra (412,470), Golkar (370,418), Demokrat (240,325), dan Nasdem (122,382).

Banten adalah wilayah dengan penduduk mayoritas muslim, sehingga kemenangan PDI Perjuangan di basis muslim sangat mencengangkan. Berbeda dengan kemenangan PDI Perjuangan di Bali, karena Bali berpenduduk mayoritas non-muslim. Masalahnya, Banten yang memiliki sejarah panjang persentuhan dengan Islam, menunjukkan perolehan suara partai-partai Islam sangat kecil, dan tidak mampu mengalahkan suara partai-partai nasionalis.

PKS hanya mendapatkan 149.743 (Banten I), 147.175 (Banten II), dan 368,166 (Banten III). PAN mendapatkan suara 46,223 (Banten I), 110,052 (Banten II), dan 186,195 (Banten III). PKB 92,343 (Banten I), 103,294 (Banten II), dan 256,261 (Banten III).

PDI Perjuangan baru mengalami kekalahan telak di daerah-daerah pemilihan yang ketat menerapkan agama Islam, seperti Aceh. Di Aceh, PDI Perjuangan hanya memperoleh 25,021 suara (Aceh I) dan 84,851 suara (Aceh II). Sebaliknya, partai-partai nasionalis lain betul-betul mendapatkan panggung seperti Gerindra, Demokrat, Golkar, dan Nasdem.

Di Aceh I, angka perolehan partai-partai nasionalis sebesar: 225,525 suara (Golkar), 225.441 suara (Demokrat), 151,960 suara (Gerindra), dan 89,382 suara (Nasdem). Di Aceh II, perolehan partai-partai nasionalis sebesar: 216,608 suara (Gerindra), 177,698 suara (Demokrat), 89,232 (Golkar), dan 84.995 suara (Nasdem).

Sementara perolehan suara partai-partai Islam di daerah-daerah yang menerapkan syariat Islam tidak begitu signifikan. Di Aceh I, PAN (227.932), PKS (99,962), PPP (99.533), PKB (92,285), dan PBB (27,404). Di Aceh II, PPP (109,750), PKS (104,242), PKB (87,881), PAN (81.211), dan PBB (36.585).

Komponen Ideologi PDI Perjuangan

Berdasarkan angka-angka di atas, dapat dikatakan bahwa Sukarnoisme, Marhaenisme, ataupun Proletarianisme mendapat apresiasi besar di Pulau Dewata Bali, dan di bekas wilayah Kasultanan Banten. Bisa dikatakan, Bali-Jawa sangat akrab dengan idealisme dan program-program kerja yang digawangi oleh para ideolog dalam tradisi warisan pemikiran Orde Lama.

Sementara wilayah dengan aturan syariat Islam yang ketat seperti Aceh, Sumatera, lebih akrab dengan ideologi warisan pemikiran Orde Baru, Soehartoisme, militerisme, dan developmentalisme yang menubuh pada Golkar maupun pecahannya, Gerindra. Pendiri Gerindra Prabowo Subianto dan Pendiri Demokrat SBY adalah orang-orang pewaris Orde Baru.

Besarnya angka perolehan suara PDI Perjuangan di Bali dan Jawa tidak terlepas dari komponen-komponen penyusun ideologi tersebut. Pada Mei 1928, Ir. Sukarno mendirikan Partai Nasionalis Indonesia (PNI) sebagai kendaraan politik untuk mewujudkan cita-cita besarnya yang tercermin dalam slogan besar PNI, yaitu NASAKOM (Nasionalis, Agama, Komunis). PNI bubar pada April 1931.

NASAKOM bukan ideologi campuran namun strategi kerjasama politik. Nasionalis tidak pernah menerima agama dan komunisme di dalam dirinya melainkan sebatas pentingnya persatuan di antara ideologi-ideologi anak bangsa yang berbeda. Pada Januari 1946, PNI kembali didirikan.

PNI dan PKI terus berjuang bersama-sama sampai tahun 1965. Baru ketika PKI dibubarkan, karena terlibat aksi pemberontakan, PNI mengubah haluan politiknya. Pada pertemuan 21 Desember 1967, di bawah tekanan Soeharto dan rezim militer, PNI mengambil keputusan untuk membekukan filsafat politik dan semua ajaran Soekarno, karena dituduh menjadi kolaborator PKI.

Walaupun PNI kehilangan PKI, masih ada Partai Musyawarah Rakyat Banyak (MURBA). Partai MURBA didirikan oleh Tan Malaka, Adam Malik, Chaerul Saleh, dan Sukarni pada tahun 1948. Tan Malaka sendiri adalah agen komintren komunisme untuk wilayah Asia Tenggara dan Australia.

Berbeda dengan PKI yang barbar, MURBA lebih halus dan mampu menyesuaikan diri dengan gaya rezim Soeharto. Akhirnya, MURBA masih bisa mengikuti Pemilu 1971. Baru pada tahun 1973, partai PNI maupun MURBA sudah tidak eksis lagi. Dua-duanya menggabungkan dirinya ke dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Pemilu 1977 yang diikuti PDI itu pada hakikatnya diikuti oleh PNI dan MURBA.

Pada tahun 1997, PDI terbelah dua kelompok: kubu Megawati dan Suryadi. Namun, Suryadi condong pada Soeharto, sehingga anggota partai lebih memilih Megawati. Sejak itu pula, era PDI berakhir dan digantikan PDI-Perjuangan, yang mampu mengantarkan Presiden Joko Widodo menjadi Presiden selama dua periode melalui Pemilu 2014 dan 2019. Pada Pemilu 2024, PDI Perjuangan mengusung Ganjar Pranowo sebagai petugas partai. [G]


*Pengamat Sosial Politik dan Mahasiswa Doktorol UIN Sunan Kalijaga.