Home Nasional Ketakutan Masyarakat Rempang di Tengah Tekanan Investor Asing dan 'Rayuan' Pemerintah

Ketakutan Masyarakat Rempang di Tengah Tekanan Investor Asing dan 'Rayuan' Pemerintah

Batam-Jakarta, Gatra.com - Penggusuran dan relokasi, dua kata yang akhir-akhir ini menghantui masyarakat Pulau Rempang, Kepulauan Riau (Kepri). Pasalnya, tempat tinggal yang telah mereka huni beratus-ratus tahun rencanakan akan disulap jadi pabrik kaca bermodalkan investasi asing.

Relokasi atau tidak akan ditentukan pada 28 September 2023 nanti. Tenggat waktu dari pemerintah, baik pusat maupun daerah Batam serta Kepri, tentu sudah ditolak oleh masyarakat di 16 Kampung Adat Ulayat di Rempang.

Namun, sikap pemerintah yang tampaknya ngotot tidak mau waktu diundur lagi menimbulkan keresahan pada warga. Rasa takut dan gelisah ini terlihat jelas oleh para aktivis HAM dan beberapa pihak yang menemui warga Rempang saat turun ke lapangan demi membantu menemukan titik perkara.

"Di titik-titik strategis di setiap persimpangan jalan akses di Pulau Rempang memang sekarang ini banyak ditempatkan posko tim terpadu. Tujuannya untuk memberikan pelayanan bagi masyarakat yang ingin mendaftarkan dan menandatangani persetujuan relokasi," ucap Komisioner Mediasi Komnas HAM, Prabianto Mukti Wibowo usai konferensi pers terkait kondisi Pulau Rempang di kantor Komnas HAM, Jakarta, Jumat (22/9).

Prabianto menyebutkan, ketika meninjau langsung Rempang pada 15-17 September 2023, ia menerima laporan masyarakat terkait posko-posko yang telah beralih fungsi menjadi markas aparat TNI dan POLRI.

"Dikeluhkan oleh warga karena ini menimbulkan keterbatasan ruang gerak warga. Bahkan juga beberapa yang melaporkan kunjungan door to door ke rumah warga untuk meminta warga menindaklanjuti permohonan untuk menindaklanjuti relokasi," kata Prabianto.

Sosialisasi dari rumah ke rumah oleh aparat masih rutin dilakukan. Direktur Eksekutif WALHI Riau, Even Sembiring mengatakan, para personil TNI dan POLRI biasanya datang beregu ke rumah warga sambil membawa formulir persetujuan relokasi.

"Setahu saya, masyarakatnya takut dengan cara-cara kayak gitu. Mereka bersembunyi kalau ada tentara atau polisi yang datang nganter form," ucap Even Sembiring saat dihubungi oleh Shela Octavia dari Gatra.com Jakarta melalui telepon pada Kamis, (22/9).

Even menjelaskan, aparat yang mendatangi rumah warga tidak terlihat membawa senjata. Ia mengatakan, hanya personil yang berjaga di posko yang dilengkapi persenjataan. Saat ini, terdapat 7 posko di beberapa titik strategis, seperti kantor kecamatan dan kantor desa. Sementara itu, ada kurang lebih 700 personel TNI-POLRI yang berada di Pulau Rempang.

Ketakutan masyarakat tidak hanya terasa pasca-tragedi kericuhan 7 September 2023 di Rempang dan ricuh 11 September di Batam. Kepala Badan Pengusahaan (BP) Batam, Muhammad Rudi menceritakan sempat menemukan rasa takut dan curiga pada masyarakat ketika pihaknya melakukan sosialisasi. Rudi menjelaskan, sosialisasi door to door ke rumah warga sudah dilakukan sejak 9 September 2023.

"Namun, ada keengganan masyarakat bila harus berkumpul dalam satu ruangan. Kami tidak tahu pasti apa yang ditakutkan. Tetapi tidak apa, kami terus berupaya secara privasi datang ke rumah demi rumah satu per satu, sehingga sosialisasi lebih intim dan masyarakat pun lebih nyaman," ucap Muhammad Rudi kepada Abdul Aziz dari Gatra Kepri.

Sekretaris Umum Rumpun Khazana Warisan Batam (RKWB), H. Raja Muhammad Amin menjelaskan lebih lanjut soal kekhawatiran masyarakat kepada Romus Panca dari Gatra Batam.

“Kalau investornya lokal, kita enggak khawatir lantaran kita masih bisa langsung bernegosiasi. Tapi kalau investor dari luar [Cina] yang masuk, inilah yang membikin kita pusing lantaran perantaranya pemerintah pusat,” ujar Amin.

Ia pun menegaskan, masyarakat Rempang mendukung rencana pembangunan dan investasi melalui proyek strategis nasional. Namun, masyarakat tidak bisa terima jika Kampung Tua harus dikorbankan demi investasi ini.

“Kepada aparat, kami minta kedepankan musyawarah, hindari cara-cara ekspresif. Itu rakyat kita yang mestinya diayomi,” ucap Amin lagi.

Amin juga meminta agar Peruntukan Lahan (PL) di Kampung Tua dapat dihentikan dan dicabut. Permohonan ini telah digaungkan jauh sebelum "Rempang Eco City" ramai dibahas publik.

“Kami sudah beberapa kali kami menggelar hari marwah, pada 2010 dan 2015. Tuntutan kami sama, cabut semua PL di Kampung Tua dan hentikan pemberian PL di Kampung Tua. Kampung-kampung tua itu kembalikan ke Pemerintah Kota Batam, perlakukan Kampung Tua itu sama dengan kampung-kampung lain di Indonesia,” tegas H. Raja Muhammad Amin lagi.

Seperti yang diketahui, pemerintah menargetkan relokasi masyarakat Rempang bisa dilakukan paling lambat 28 September 2023. Untuk mencapai hal ini, diperlukan persetujuan dari masyarakat. Namun, dari ribuan KK yang ada di kampung tua Rempang, hanya sekitar 100 KK yang menyatakan bersedia untuk direlokasi.

Menanggapi tenggat waktu yang semakin dekat, Komnas HAM telah menjadwalkan pertemuan dengan Kemenko Bidang Kemaritiman dan Investasi/Kepala BKPM, Kemenko Bidang Perekonomian, KSP, Setneg, Menteri ATR/BPN, dan Kapolri pada Senin, 25 September mendatang bertempat di kantor Komnas HAM Jakarta.

Pertemuan ini juga akan membahas beberapa temuan di lapangan. Komnas HAM pun akan memberikan beberapa rekomendasi terkait polemik yang tengah terjadi. Salah satu rekomendasi yang akan disampaikan adalah permintaan agar para menteri bisa meninjau kembali wacana "Rempang Eco City" sebagai Proyek Strategis Nasional.

"Jadi, posisi Komnas HAM, saat ini adalah kita meminta pemerintah untuk tidak melakukan relokasi warga, tetapi sebaliknya, pemerintah bisa memindahkan lokasi pabrik yang akan dibangun oleh Xinyi [investor Cina] tadi," ucap Komisioner Mediasi Komnas HAM, Prabianto Mukti Wibowo.

177