Aceh, Gatra.com - KontraS Aceh memperingatkan aparat keamanan Indonesia untuk mulai memitigasi kemungkinan eskalasi kekerasan kepada pengungsi Rohingya di Aceh. Peristiwa pengusiran pengungsi Rohingya dari Gedung Balee Meuseuraya Aceh (BMA) oleh mahasiswa, menjadi salah satu tanda peringatan.
Koordinator KontraS Aceh, Azharul Husna mengatakan, saat ini memang terlalu dini untuk menyatakan adanya ancaman-ancaman konflik dan persekusi lanjutan. Namun, Husna menyampaikan, ada baiknya agar pemerintah mulai merancang sejumlah mitigasi untuk berbagai kemungkinan.
“Termasuk juga memperhatikan apa dampak bagi Indonesia di mata internasional kalau terjadi serangan fisik yang menyerang pengungsi,” ucap Azharul Husna dalam Media Briefing “Merespons Situasi dan Kondisi Terkini tentang Penolakan Pengungsi Rohingya di Aceh” yang dilaksanakan secara daring pada Kamis (28/12).
Husna menjelaskan, kebanyakan dari pengungsi Rohingya yang datang ke Aceh adalah perempuan dan anak-anak. Secara spesifik, pengungsi Rohingya yang menempati basemen Gedung BMA berjumlah 137 orang.
Lima puluh persen dari total pengungsi adalah anak-anak. Jumlah pengungsi terbesar adalah perempuan, dan hanya 27 orang pengungsi yang berjenis kelamin laki-laki.
Husna menjelakan, sebelum massa menghampiri basemen BMA dan memaksa para pengungsi untuk pindah, mereka terlebih dahulu berdemonstrasi di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA).
Massa yang berjumlah kurang lebih 300 mahasiswa itu sempat bertemu dengan salah satu anggota dewan yang mengiyakan permintaan mereka untuk menolak keberadaan pengungsi Rohingya di Aceh.
Baca Juga: KontraS Aceh Sebut Pengusiran Pengungsi Rohingya karena Stereotipe Negatif di Medsos
Husna menjelaskan, saat demonstrasi terjadi, terlihat polisi ikut berjaga dan memantau kondisi. Namun, ketika massa bergerak ke BMA, tidak ada satu pun polisi yang terlihat. Hanya Satpol PP yang terlihat berjaga di area barikade pengungsi.
“Sehingga, kita merasa genting sekali untuk polisi sebagai pengamanan, itu ikut aktif dalam penanganan pengungsi,” kata Husna lagi.
Selain itu, KontraS Aceh menilai kalau saat ini sudah terbentuk stereotip negatif di media sosial terhadap pengungsi Rohingya. Padahal, hal tersebut kebanyakan merupakan misinformasi dan disinformasi.
“Propaganda, narasi negatif, framing, hoax yang diproduksi ini cukup masif, bahkan kami melacak juga beberapa akun-akun, itu umumnya bot, itu tidak ada pengikutnya atau mengikuti siapapun, belum ada postingan apapun,” jelas Husna.
Pada diskusi ini, Husna pun menegaskan, tidak semua pengungsi dalam kondisi baik-baik saja. Masih banyak pengungsi yang kesulitan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar mereka. Hal ini lantas menegasikan beberapa video viral yang menunjukkan seakan-akan pengungsi Rohingya mendapat fasilitas yang “mewah”.
“Misalnya, di Laweung, itu pengungsi lebih kurang sampai 15 hari tidak mendapatkan akses air bersih yang menyebabkan mereka kesulitan dalam banyak hal, termasuk makanan juga,” jelas Husna.
Ia menekankan, tindakan para pengungsi Rohingya yang disebutkan membuang-buang makanan pemberian masyarakat Aceh, merupakan suatu anomali dan tidak menggambarkan keseluruhan sikap pengungsi Rohingya.