Home Hukum Haris dan Fatia akan Divonis Senin Depan, Begini Rangkuman Sidang Kasus Lord Luhut

Haris dan Fatia akan Divonis Senin Depan, Begini Rangkuman Sidang Kasus Lord Luhut

Jakarta, Gatra.com - Terdakwa Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti akan menjalani sidang pembacaan putusan vonis oleh majelis hakim terhadap kasus dugaan pencemaran nama baik yang dilaporkan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan pada Senin (8/1) di Pengadilan Negeri Jakarta Timur (PN Jaktim).

Sebelum sampai ke pembacaan putusan, terdakwa Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti telah melewati serangkaian peristiwa hingga kasus mereka dilimpahkan ke persidangan.

1. Kronologi Konten Youtube Jadi Dakwaan Persidangan

Berdasarkan dakwaan dan fakta persidangan, kasus ini bermula dari konten video podcast Haris Azhar yang berjudul "Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya!! Konten ini diunggah pada 20 Agustus 2021 dan merupakan bagian dari series “NgeHAMtam”.

Video podcast ini membahas lebih jauh hasil riset yang dilakukan oleh sembilan organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Bersihkan Indonesia. Kesembilan organisasi ini adalah YLBHI, WALHI Eksekutif Nasional, Pusaka Bentala Rakyat, WALHI Papua, LBH Papua, KontraS, JATAM, Greenpeace Indonesia, Trend Asia.

Riset yang berjudul ‘Kajian Cepat Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua: Kasus Intan Jaya” ini secara resmi diterbitkan tanggal 17 Agustus 2021 melalui website masing-masing organisasi masyarakat sipil.

Kemudian, pada tanggal 26 Agustus 2021, Luhut Binsar Pandjaitan secara resmi melayangkan somasi, melalui kuasa hukumnya, Juniver Girsang, kepada Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti atas konten yang diunggah pada tanggal 20 Agustus 2021. Sebagai informasi, pada konten tersebut juga hadir Kepala Divisi Advokasi Walhi Papua, Wirya Supriyadi atau biasa dipanggil Owi sebagai salah satu narasumber bersama Fatia Maulidiyanti yang mewakili KontraS.

Haris dan Fatia secara resmi dilaporkan ke Polda Metro Jaya pada tanggal 22 September 2021 dengan nomor berkas LP/B/4702/IX/2021/SPKT/POLDA METRO JAYA. Upaya mediasi dilakukan pada tanggal 21 Oktober 2021, tapi gagal lantaran Luhut tidak hadir karena harus ke luar negeri. Proses mediasi dinyatakan gagal pada tanggal 15 November 2021 dan proses hukum berlanjut ke penyidikan. Haris dan Fatia pun ditetapkan sebagai tersangka pada 18 Maret 2022 hingga akhirnya berkas dilimpahkan ke pengadilan. Sidang perdana untuk kedua penggiat HAM ini berlangsung pada 3 April 2023.

2. Dakwaan dan Hal-hal yang dipermasalahkan

Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti sama-sama didakwa melanggar Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (3) Undang-undang (UU) Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU 11/2008 tentang ITE atau Pasal 14 ayat (2) subsidair Pasal 15 UU 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana atau Pasal 310 ayat (1) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Selama persidangan, ada beberapa kata dan kalimat yang dipermasalahkan. Kalimat-kalimat ini diduga mengandung muatan menghina dan bukti adanya niat untuk mencemarkan nama baik Luhut Binsar Pandjaitan.

Unsur pertama yang dipermasalahkan adalah penggunaan frasa “Lord Luhut”, baik dalam judul podcast maupun yang diucapkan oleh para narasumber dalam konten. Hal ini dapat dilihat pada perbincangan yang terjadi sekitar menit ke 14.11 dengan perbincangan sebagai berikut.

Fatia: “Kita tahu juga bahwa Toba Sejahtera Group ini juga dimiliki sahamnya oleh salah satu pejabat kita,”

Haris: “Siapa?”

Fatia: “Namanya adalah Luhut Binsar Pandjaitan”.

Haris: “LBP? The Lord, The Lord?”

Fatia: “Lord, iya. Lord Luhut gitu. Jadi, Luhut bisa dibilang bermain di dalam pertambangan-pertambangan yang terjadi di Papua hari ini.”

Kalimat “Jadi, Luhut bisa dibilang bermain … “ yang diucapkan Fatia juga menjadi salah satu alasan yang memberatkan dirinya.

Patut diketahui, ketika kajian cepat dan konten Haris Azhar ini diunggah, Luhut merupakan pemegang saham mayoritas di perusahaan Toba Sejahtera Group. Salah satu anak perusahaan Toba Group, Tobacom Del Mandiri, juga disebutkan dalam kajian cepat dan konten youtube. Perusahaan ini dikatakan punya peran lebih dalam dan aktif dalam mengurus pertambangan di Intan Jaya, Papua. Sosok yang disebutkan aktif mengurus hal ini adalah purnawirawan TNI bernama Paulus Prananto yang saat itu menjabat sebagai Direktur PT Tobacom Del Mandiri.

Selain Toba Group, Fatia juga menyebutkan beberapa nama perusahaan lain, seperti MIND ID, PT Freeport Indonesia. dan PT Antam. Fatia juga membocorkan beberapa nama purnawirawan TNI lainnya yang ada dalam jabatan strategis perusahaan-perusahaan tambang ini. Salah satunya, Hinsa Siburian mantan Pangdam Cenderawasih yang merupakan komisaris PT Freeport Indonesia.

Selain itu, pernyataan lain dari Fatia yang dipermasalahkan adalah ketika ia menyebut kata “penjahat” pada menit 20.22. Sebelum menyebutkan kata “penjahat”, Haris dan Fatia tengah membahas kalau ada korelasi lebih dalam dari perusahaan-perusahaan yang disebutkan. Fatia menjelaskan, dalam konteks politik, beberapa nama di balik perusahaan-perusahaan ini sebelumnya terlibat dalam tim pemenangan Jokowi di tahun 2014-2015. Usai Fatia menyampaikan hasil temuan riset ini, Haris pun melempar guyonan sebelum pindah ke pembahasan berikutnya.

Haris: “Gimana caranya perusahaan-perusahaan itu kita ambil alih?”

Fatia: “Enggak dong, gimana dong, jadi penjahat juga kita.”

3. Luhut Hadir di Persidangan dan Diperiksa Sebagai Saksi

Luhut Binsar Pandjaitan dihadirkan dalam persidangan Haris dan Fatia sebagai saksi pelapor. Kedatangan Luhut pada Kamis (8/6) lalu menimbulkan banyak kontroversi. Pasalnya, pada hari pemeriksaan Luhut, persidangan di ruangan lain ditiadakan. Tim kuasa hukum terdakwa pun sempat tidak bisa masuk ke dalam area Pengadilan Negeri Jakarta Timur, apalagi para relawan dan pendukung Haris-Fatia. Puluhan personil aparat kepolisian pun terlihat berjaga di depan gerbang pengadilan.

Dalam kesaksiannya, Luhut menyatakan dirinya tidak terima dituding sebagai penjahat dan menolak dipanggil Lord. Luhut mengaku tidak ada kerugian materiil dalam kasus ini, tapi ada secara moral.

"Ya saya terus terang kerugian materiil mungkin tidak perlu dihitung, tapi secara moral anak cucu saya, saya dibilang penjahat saya dibilang 'lord', saya bilang apalagi coba. Kalau saya tuduh Anda ada sebagai penjahat atau pencuri pencuri itu kan anda tidak bisa terima juga," kata Luhut.

Selain itu, Luhut pun mengatakan Haris pernah minta tolong padanya untuk membantu soal saham. Bukti-bukti percakapan melalui Whatsapp ini sempat ingin dibacakan oleh Luhut, tapi ditolak oleh penasehat hukum terdakwa karena tidak berkaitan dengan kasus yang tengah dipersidangkan. Permintaan saham yang dibicarakan merupakan saham untuk masyarakat adat yang tinggal di sekitar PT Freeport.

“Saya sebenarnya sampai hari ini belum mengerti kenapa Haris begitu. Saya bisa tunjukkan WhatsApp dia (minta) bantu urus saham dari suku di Timika yang belum beres. Itu semua baik-baik saja sampai pada saham, tapi sudahlah,” ucap Luhut lagi.

4. Kesaksian Manajer PT Madinah Quarrata'ain Beberkan Kegiatan Tambang di Papua

Saksi yang dihadirkan JPU pada Senin (19/6), Manajer Hubungan Kepemerintahan PT Madinah Qurrata ‘Ain (PT MQ), Dwi Partono membenarkan kalau pihaknya pernah menjalin kerja sama dengan anak perusahaan Toba Group, yaitu PT Tobacom Del Mandiri.

Penasehat hukum dari Haris-Fatia bertanya kepada Dwi soal pengumuman bertanggal 12 Oktober 2016 yang dikeluarkan oleh West Wits Mining, perusahaan asal Australia sekaligus induk perusahaan PT MQ, menyatakan, PT Tobacom Del Mandiri bertanggung jawab untuk mengamankan dan membersihkan area dari para penambang liar. Dwi menyatakan, ia mengetahui soal isi pengumuman ini.

Pada masa penjajakan kerja sama ini, Purnawirawan TNI Paulus Prananto menjabat sebagai direktur di perusahaan PT Tobacom Del Mandiri.

Dalam persidangan, Dwi bersaksi jika ia pernah bertemu dengan Paulus Prananto pada sebuah rapat yang diadakan pada Oktober 2016 lalu di Wisma Bakrie. Ada beberapa kesepakatan yang dicatat dalam notulensi rapat saat itu.

"Bahwa, PT Madinah Quarrata'ain akan memberikan 30 persen saham kepada Tobacom Del Mandiri dengan syarat, ada beberapa yang harus dipenuhi," ucap Dwi dalam persidangan di PN Jaktim, Senin (19/6).

Syarat pertama, PT Tobacom harus mendapatkan sertifikat clean and clear dari Dinas Pertambangan agar PT Madinah Quarrata'ain bisa melakukan eksplorasi di lahan yang mereka sebutkan di Papua. Dwi menjelaskan, hal ini gagal lantaran karena sertifikat tidak kunjung keluar meskipun status clean and clear sudah terbit.

Syarat lainnya yang diberikan adalah PT Tobacom harus mendapatkan izin pinjaman pakai kawasan hutan. Kemudian, memberikan akses kepada PT MQ, serta membiayai operasional PT MQ. Dwi menyatakan notulensi rapat ini sudah ditandatangani oleh Paulus Prananto, tapi kesepakatan tidak terjadi lantaran Presiden Direktur PT MQ, Vincent Savage menolak menandatangani notulensi tersebut karena berbeda dari hasil pertemuan mereka yang sebelumnya.

Dwi mengatakan, Luhut Binsar Pandjaitan tidak secara langsung bersinggungan dengan PT MQ. Selama ini, yang bertemu langsung dengan pihaknya adalah pihak dari anak perusahaan milik Luhut, yaitu PT Tobacom Del Mandiri.

Dalam persidangan, Dwi menjelaskan kalau PT MQ sempat meminta pengamanan dari aparat kepolisian di Kabupaten Paniai untuk melakukan aktivitas pertambangan di daerah tersebut. Sempat terjadi perdebatan antara penasehat terdakwa dengan Dwi Partono terkait status perizinan PT MQ untuk beraktivitas di Papua.

Dwi bersikeras kalau PT MQ sudah mendapatkan izin dari pemerintah, namun ada penolakan dari masyarakat lokal. Dwi menjelaskan, izin untuk melakukan eksplorasi tambang memang belum keluar, tapi PT MQ sudah diperbolehkan untuk melakukan persiapan awal.

"Kenapa kami membicarakan soal keamanan, karena kami akan mulai membangun landasan pesawat di lokasi. Dan juga, kami akan membuat camp di lokasi," ucap Dwi Partono di PN Jaktim pada Senin (19/6).

Haris sempat menanyakan secara langsung bentuk ancaman apa yang dihadapi oleh PT Madinah sehingga butuh pengamanan. Tapi, Dwi mengatakan, hingga kini tidak ada ancaman yang terjadi. Ia menjelaskan, pengamanan dilakukan karena di lokasi yang disebut milik PT Madinah banyak terdapat penambangan liar.

"Kami gak mau terganggu dengan aktivitas penambang liar yang notabene menolak keberadaan kami sebagai perusahaan yang memiliki izin," jelas Dwi Partono lagi.

Ia menjelaskan, aparat kepolisian diminta untuk mengamankan aset perusahaan yang berupa camp sekaligus karyawan PT Madinah yang bertugas di sana untuk melakukan preparation. Namun, berdasarkan keterangan Dwi seusai sidang, proses ini sudah terhenti sejak tahun 2017.

5. Purnawirawan TNI Paulus Prananto Pasang Badan

Ketika diperiksa dalam persidangan, Paulus Prananto mengaku kalau kerja sama antara PT Tobacom Del Mandiri dan PT MQ merupakan inisiatifnya. Ia mengatakan, Luhut Binsar Pandjaitan dan jajaran direksi Toba Group tidak mengetahui soal kerja sama ini.

"Saya sebagai pribadi mempunyai inisiatif untuk membantu PT Madinah Quarrata'ain (PT MQ). Saya tidak mengatasnamakan PT Tobacom Del Mandiri," ucap Brigjen TNI (Purn), Paulus Prananto saat memberikan kesaksian di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Senin (3/7).

Paulus mengaku, ia sempat bertemu dengan para petinggi PT MQ pada Agustus 2016 lalu. Setelah pertemuan itu, Paulus memutuskan untuk membantu PT MQ menyelesaikan permasalahan mereka terkait izin usaha pertambangan (IUP) eksplorasi di tiga kabupaten di Papua. Inisiatifnya untuk membantu PT MQ dinilai sebagai naluri bisnis dari seseorang yang saat itu menjabat sebagai direktur utama.

Paulus mengatakan ia tidak melapor dan tidak melibatkan pimpinan Toba Group untuk kerja sama itu. Menurutnya, hal ini tidak bermasalah karena diskusi dengan PT MQ masih dalam tahap awal.

Bukan hanya berhasil membantu PT MQ untuk mengurus IUP, Paulus Prananto juga berhasil membantu PT MQ untuk mendapatkan status clean and clear. Namun, keterlibatan Paulus dalam proses inilah yang membuat Luhut diduga terlibat dalam pertambangan di Papua, seperti yang disebutkan dalam video podcast "Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya!! Jenderal BIN juga Ada!".

Proses kerja sama antara PT MQ dan Tobacom pun berlanjut. Namun, untuk proses selanjutnya, Paulus baru lebih aktif menggunakan nama perusahaan Tobacom.

Paulus sempat mengatakan, inisiatif pribadinya di awal, untuk membantu PT MQ mencapai status CNC dan berhasil mengurus IUP perlu ada imbalan khusus.

"Apabila berhasil, maka revenue, kalau ada, dan profit, harus diserahkan pada perusahaan. Dan, untuk bisa sampai ke situ, maka harus ada kerja sama," kata Paulus.

Meski demikian, berdasarkan notulensi rapat tertanggal 14 November 2018 yang dibacakan oleh JPU, Toba Group justru memutuskan untuk terlibat dalam kegiatan yang dilaksanakan PT MQ di daerah sekitar Sungai Darewo. Toba Group pun melarang Paulus untuk menggunakan anak perusahaan Toba Group untuk menjalankan kerja sama dengan PT MQ.

Dalam persidangan, Paulus Prananto pun mengaku telah menggunakan dana pribadi untuk ikut serta dalam Darewo Project. Paulus pun mengatakan ingin menjual sahamnya di PT MQ demi menutup lubang yang tertinggal karena inisiatif pribadinya.

6. Keponakan Luhut Jelaskan Status Kepemilikan Saham Toba Group

Ketika diperiksa sebagai saksi dalam persidangan, Direktur PT Toba Sejahtera, Heidi Melissa Deborah membenarkan kalau Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan merupakan pemilik saham dari perusahaan tempatnya bekerja saat ini.

“Berdasarkan akta saat ini, pemegang sahamnya adalah Bapak Luhut Binsar Pandjaitan sebagai majority shareholders dan Bapak David Pandjaitan sebagai minority shareholders," jelas Hedi saat sidang pada Senin (3/7).

Berdasarkan catatan prospektus penawaran saham perdana (initial public offering/IPO) TOBA pada 2012, Luhut menguasai 99,98 persen. saham PT Toba Sejahtra. Sisanya, sebanyak 0,02 persen dipegang oleh putra Luhut, David Togar Pandjaitan.

Heidi yang merupakan keponakan Luhut

mengonfirmasi, Luhut masih punya pengaruh di PT Toba Sejahtera karena jadi pemegang saham mayoritas. Namun, Heidi menyatakan Luhut tak mau lagi ikut campur urusan perusahaan.

Ketika menjawab pertanyaan dari salah satu PH Haris-Fatia, Asfinawati, Heidi mengaku kalau Toba Group pernah memerintahkan Paulus Prananto untuk menghentikan keterlibatan dengan PT MQ.

Heidi menjelaskan, berdasarkan minutes of meeting (MoM) tertanggal 14 November 2018, perusahaan Toba saat itu sempat menaruh kecurigaan pada Paulus. Pasalnya, dalam rilis media yang terbit di pasar modal Australia, terindikasi kalau Toba Group berafiliasi dengan West Wits Mining dan PT MQ.

“MoM ini dibuat setahun setelah manajemen mengatakan kepada Bapak Paulus, project ini dihentikan. Lalu, muncul lagi media rilis, jadi, kita ada asumsi ini jangan-jangan ini Pak Paulus masih melakukan sesuatu, jadi diminta untuk dihentikan,” jelas Heidi.

Kemudian, Asfina mempertanyakan soal isi email Heidi yang tertanggal 4 Oktober 2018. Isi email ini menyebutkan adanya kekhawatiran terkait kalimat “Toba Sejahtera continue to lobby various level of Indonesia’s government (Toba Group melanjutkan upaya untuk melobi beberapa pihak dari Pemerintah Indonesia)”.

Heidi mengatakan ini mengkhawatirkan karena pernyataan tersebut dibuat tanda berdasarkan dokumen apapun. Ia menjelaskan kalau “janji” tersebut tidak lazim dan tidak pernah dilakukan oleh Toba Group.

7. Pemeriksaan Haris Azhar dan Fatia selaku Terdakwa

Sebelum akhirnya saling diperiksa sebagai terdakwa, Haris dan Fatia kompak untuk menolak diperiksa sebagai saksi dalam kasus perkara mereka masing-masing.

Saat diperiksa sebagai terdakwa, Haris geram karena JPU terus mencecarnya soal pendapatan iklan dan fee yang dia dapat dari akun Youtubenya. Haris menegaskan, iklan yang ia dapatkan tidak menutupi biaya produksi.

Ia pun tambah geram ketika jaksa memaksa dan meminta bukti pendapatan dari Youtube yang benar-benar digunakan untuk membiayai produksi podcast-nya. Haris menegaskan, JPU langsung mengambil kesimpulan tanpa terlebih dahulu bertanya soal caranya mengelola akun YouTube tersebut.

“Kalau berasumsi bahwa saya bikin YouTube, ada motif yang dikembangkan dengan bikin YouTube, jelek-jelekin Luhut saya dapat duit. Gak dapet duit. Rugi," jelas Haris Azhar pada persidangan tanggal Senin (21/8).

Secara spesifik, Haris pun mengatakan Fatia Maulidiyanti dan Direktur WALHI Papua, Owi tidak mendapatkan upah apapun untuk menjadi narasumber dalam video podcast "Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya.

Ketika Fatia Maulidiyanti diperiksa sebagai terdakwa pada Senin (28/8), jaksa mencecarnya soal jenis data yang digunakan dalam kajian cepat.

Jaksa mempermasalahkan, data yang digunakan dalam kajian cepat merupakan data sekunder. Namun, Fatia mengatakan, data sekunder lazim digunakan dalam kajian ilmiah.

Fatia menjelaskan, metode yang digunakan dalam proses penelitian kajian cepat adalah metode kualitatif. Data yang digunakan berasal dari website resmi negara, laporan perusahaan, dan beberapa surat atau mekanisme keterbukaan informasi publik.

Ia menjelaskan, data sekunder digunakan karena adanya keterbatasan dalam ruang lingkup waktu dan data dari sebuah kajian. Fatia menjelaskan, sangat lazim untuk suatu riset seperti jurnal untuk punya volume atau edisi 1,2,3, dan seterusnya, mengikuti perkembangan dan pemutakhiran data.

JPU terus mempertanyakan data langsung yang digunakan dalam kajian cepat yang menjadi landasan materi podcast Haris Azhar ini.

“LBH Papua, Walhi Papua, dan juga Pusaka, itu mereka punya data langsung di lapangan,” jawab Fatia.

Pada saat diperiksa sebagai terdakwa, baik Haris maupun Fatia mengatakan kalau mereka tidak menyesali perbuatan keduanya. Mereka menilai, apa yang mereka lakukan masih dalam koridor penggiat HAM, yaitu untuk menyuarakan permasalahan yang dihadapi masyarakat Papua.

8. Orang Papua Asli Bersaksi dan Jelaskan Kondisi Tambang di Intan Jaya

Pada salah satu kesempatan untuk menghadirkan saksi adecharge atau saksi meringankan, Haris dan Fatia menghadirkan orang masyarakat asli Papua untuk menjelaskan kondisi di Intan Jaya.

Tokoh Adat Suku Wolani, Thobias Baugau yang hadir sebagai saksi, menjelaskan, kegiatan pertambangan oleh PT MQ sudah terjadi sekitar tahun 2010 atau 2011. Namun, kegiatan terhenti pada tahun 2015 setelah ada penolakan dari masyarakat.

"Masyarakat pemilik wilayah tidak mengetahui adanya PT MQ itu. Tidak sosialisasi, tidak koordinasi. Pada prinsipnya, masyarakat pemilik hak wilayah tidak tahu sama sekali," kata Thobias dalam persidangan tanggal Senin (18/9).

Thobias menjelaskan, permasalahan antara PT MQ dan masyarakat lokal sempat dimediasi di Polda sekitar tahun 2015-2016. Saat itu, masyarakat pun sempat melakukan berbagai upaya untuk menolak keberadaan PT MQ.

Penolakan pertama dilakukan oleh masyarakat dengan berdemonstrasi di Bandara Nabire. Kemudian, masyarakat juga sempat mendesak pemerintah setempat, baik tingkat kabupaten/kota sampai tingkat provinsi untuk menghentikan proses penambangan yang ada.

"Mantan gubernur sempat keluarkan instruksi untuk hentikan pertambangan. Berdasarkan instruksi itu, kami bentuk tim untuk melakukan sosialisasi ke pertambangan Darewo," jelas Thobias.

Haris Azhar pun sempat menanyakan kondisi terkini di wilayah konsesi tambang PT MQ. Thobias menjelaskan, sejak tahun 2017, pihak perusahaan sudah tidak pernah berkoordinasi dengan masyarakat setempat. Kegiatan penambangan memang juga sudah dihentikan, tapi di wilayah tersebut masih ada kegiatan perkantoran. Alat-alat berat milik PT MQ juga masih bisa ditemukan di wilayah konsesi tambang.

"Masih ada, dia punya kantornya masih ada. Masih ada kantornya, West Wits Mining juga masih ada. Madinah juga ada di lokasi," ucap Thobias lagi.

9. Rocky Gerung Hadir sebagai Saksi Meringankan

Saat diperiksa dalam persidangan pada Senin (9/23), Rocky sempat membandingkan kebebasan berpendapat di zaman pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan di zaman Joko Widodo (Jokowi).

Rocky menilai, SBY tidak pernah membatasi kebebasan berpendapat masyarakat. Ia mencontohkan bagaimana sikap SBY saat dikritik oleh George Junus Aditjondro lewat buku Gurita Cikeas.

"Karena kontra dengan gurita Cikeas dibantah oleh Partai Demokrat dengan data yang lebih masuk akal dari buku, publik menilai," kata Rocky dalam persidangan.

Sementara itu, Rocky menilai, di era Presiden Jokowi, kebebasan berpendapat bisa dijerat dengan dengan Undang-Undang ITE. Ia pun menilai kalau kebebasan berpendapat di era SBY lebih bermutu dibandingkan dengan era Jokowi.

JPU sempat meminta penjelasan Rocky tentang cara atau standar untuk mengukur kebebasan berekspresi. Kemudian, muncul juga pertanyaan apakah kebebasan berekspresi di Indonesia bersifat absolut.

Usai mendengar jawaban Rocky, JPU menilai Rocky terlalu subjektif. Perdebatan terjadi dan Hakim Ketua Cokorda Gede Arthana pun mencoba menengahi. “Saya cuma tanya pendapat ahli, kebebasan berekspresi itu apa sebetulnya?” tanya Cokorda.

Rocky menjawab bahwa kebebasan berekspresi sudah pasti mengandung pandangan yang subjektif. “Ekspresi saya hasil subjektivisme saya sebagai otonomi. Setiap saya ucapkan ekspresi, saya di-drive oleh kemanusiaan, tidak boleh berbohong di situ,” kata Rocky.

Jaksa kemudian mengingatkan lima aturan menjadi saksi persidangan, yakni kualifikasi, topik, jenis keterangan ahli, bercorak kesaksian, dan objektivitas.

Setelah beberapa kali mencoba lagi, jaksa pun berhenti untuk mengajukan pertanyaan kepada Rocky karena menilai jawaban-jawaban Rocky terlalu subjektif dan sarat konflik kepentingan

9 Jaksa Menuntut Haris dan Fatia

Usai semua saksi, baik dari sisi JPU maupun terdakwa, selesai diperiksa, agenda sidang pun dilanjutkan dengan pembacaan tuntutan.

Sebelum membacakan tuntutan, jaksa terlebih dahulu mengatakan kalau terdakwa Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti telah melakukan tindakan manipulatif sehingga masyarakat dan pendukungnya percaya pada narasi kalau mereka adalah pembela hak asasi manusia, terutama untuk isu-isu di Papua.

Jaksa menilai, narasi yang dibangun oleh pihak terdakwa juga memberi kesan kalau persidangan yang tengah berlangsung merupakan cara untuk membungkam suara kritis, terutama soal pembelaan HAM, lingkungan hidup, dan isu-isu korupsi yang terjadi di Papua.

“Sebaliknya, tindakan penuntutan ini secara spesifik ditujukan untuk menangani perbuatan subjektif yang dilakukan Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti yang telah mencemarkan kehormatan dan atau nama baik saksi korban, Luhut Binsar Pandjaitan,” ucap Jaksa Shandy Handika saat membacakan tuntutan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Senin (13/11).

Jaksa juga mengatakan, Haris dan Fatia telah menyalahgunakan isu-isu sensitif seperti hak asasi manusia, lingkungan hidup, dan tindak pidana korupsi di Papua untuk menguntungkan pihaknya dalam persidangan kasus perkara dugaan pencemaran nama baik terhadap Menko Marves, Luhut Binsar Pandjaitan.

Jaksa menuntut dan menyatakan Haris dinilai bersalah dan melanggar dakwaan primer Pasal 27 ayat 3 juncto Pasal 45 ayat 3 UU 11 tahun 2008 tentang ITE juncto pasal 55 ayat 1 ke-satu KUHP sebagaimana dalam dakwaan pertama.

“Menghukum Haris Azhar untuk menjalani pidana penjara selama 4 tahun dengan perintah terdakwa segera ditahan dan pidana denda sebesar Rp 1 juta subsider 6 bulan kurungan,” kata jaksa.

Jaksa juga menuntut agar konten video podcast yang dipermasalahkan dalam hal ini untuk dihapus dari jaringan internet, baik video utama atau turunannya.

Selain itu, jaksa pun menyebutkan beberapa hal yang memberatkan terdakwa Haris Azhar. Pertama, terdakwa tidak mengakui dan menyesali perbuatannya. Jaksa juga mengatakan, Haris Azhar telah mengaplikasikan atau menggunakan youtubeya secara tidak patut dan tidak bijak.

“Terdakwa dalam melakukan tindakan pidananya telah berlindung dan seolah-olah mengatasnamakan pejuang lingkungan hidup,” jelas Jaksa.

Jaksa juga menilai terdakwa Haris Azhar telah bersikap tidak sopan dan merendahkan martabat pengadilan. Jaksa menilai, Haris juga kerap kali memantik kegaduhan selama persidangan berlangsung.

“Tidak ditemukan hal-hal yang meringankan atas perbuatan pidana yang dilakukan terdakwa,” ucap jaksa lagi.

Pada persidangan yang sama, jaksa menilai Fatia bersalah dan melanggar dakwaan primer Pasal 27 ayat 3 juncto Pasal 45 ayat 3 UU 11 tahun 2008 tentang ITE juncto pasal 55 ayat 1 ke-satu KUHP sebagaimana dalam dakwaan pertama.

“Menghukum Fatia Maulidiyanti untuk menjalani pidana penjara selama 3 tahun 6 bulan dengan perintah terdakwa segera ditahan dan pidana denda sebesar Rp 500.000,. subsider 3 bulan kurungan,” kata jaksa.

JPU juga mengungkapkan sejumlah hal-hal memberatkan Dan meringankan kepada terdakwa Fatia Maulidiyanti.

"Terdakwa tidak mengakui dan tidak menyesali perbuatannya,” ucap jaksa.

Fatia juga dinilai melakukan tindak pidana dengan berlindung menggunakan nama pejuang lingkungan hidup. Fatia juga dinilai memantik kegaduhan selama proses persidangan berlangsung.

"Hal-hal meringankan, terdakwa dinilai bersikap sopan dan bersikap tidak merendahkan martabat peradilan,” ucap jaksa.

10. Pledoi Haris dan Fatia

Usai mendengarkan tuntutan dari jaksa, Haris dan Fatia mendapatkan kesempatan terakhir untuk menyampaikan pembelaan pada Senin (27/11).

Dalam nota pembelaan atau pledoinya, Haris mengaku dirinya ingin menyesali perbuatannya. Tapi, setelah memeriksa kembali proses produksi video podcast "Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya!!, Haris mengatakan ia tidak dapat memenuhi dakwaan jaksa penuntut umum.

“Proses sinear podcast saya tidak ada yang salah, tidak ada yang membahayakan seseorang, atau pihak tertentu. Untuk itu, saya tidak perlu menyesali perbuatan yang didakwakan kepada saya,” ucap Haris Azhar membacakan nota pembelaan pribadinya di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Senin(27/11).

Haris justru menilai, proses pemidanaan terhadap dirinya dan terdakwa Fatia Maulidiyanti mengandung banyak hal yang patut disesali. Misalnya, dari pembuktian dengan barang bukti yang tidak sempurna, ketidakhadiran sejumlah saksi fakta maupun saksi ahli, serta keengganan saksi ahli untuk menunjukkan kapasitasnya.

Founder Lokataru ini meyakini, video podcast atau sinear yang ada dalam youtube-nya telah membahas riset yang secara implisit menunjukkan adanya ancaman terhadap hutan dan lingkungan hidup. Selain itu, riset juga telah memperlihatkan adanya dugaan keterlibatan nama-nama besar yang mendominasi media.

Haris pun menegaskan, penggunaan kata ‘Lord Luhut' dilakukan untuk mengikuti konteks yang saat itu populer di masyarakat. Saat itu, Luhut Binsar Pandjaitan merupakan salah satu sosok kepercayaan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Hal ini dibuktikan dengan banyaknya jabatan yang diberikan kepada Luhut.

Selain Haris, Fatia pun mendapat kesempatan untuk membacakan pledoi pribadinya. Ia membeberkan sejumlah kerugian materiil dan immateriil yang ia tanggung selama menjalani proses hukum ini. Mulai dari terganggunya pekerjaan sebagai advokat maupun peneliti.

Fatia menjelaskan, dirinya pun terpaksa melepaskan kesempatan untuk melanjutkan pendidikannya. Padahal, ia sudah mendapatkan beberapa tawaran yang sayangnya harus dilepaskan.

Ia pun menjelaskan beragam doxing dan umpatan yang diterimanya dari sejumlah kalangan di masyarakat. Fatia mengatakan, banyak yang mencerca dirinya sebagai wanita muda yang tidak paham sejarah, dan tidak tahu sopan santun.

“Yang paling menyakitkan bagi saya ialah, kasus ini membuat saya kehilangan kesempatan terbaik untuk hadir, merawat, berbakti kepada satu-satunya orang tua saya selama ia sakit serta di waktu-waktu terakhirnya,” jelas Fatia.

Meski demikian, Fatia mengaku sadar akan resiko yang ia hadapi demi memberikan ruang bagi kebenaran.

“Saya berjuang dengan penuh kegembiraan dengan harapan masyarakat umum maupun orang-orang yang bekerja pada organisasi masyarakat sipil, komunitas akar rumput, terutama kelompok muda, perempuan, masyarakat adat, masyarakat tertindas lainnya, tidak menjadi takut dan menyerah,” ucap Fatia.

280