Home Pemilu 2024 Pilpres 2024 Fair atau Curang? Begini Kata Ahli Hukum Tata Negara

Pilpres 2024 Fair atau Curang? Begini Kata Ahli Hukum Tata Negara

Jatinangor, Gatra.com – Gelombang keresahan politik sempat muncul dari sebagian masyarakat sipil dan sivitas akademika sebelum hari pencoblosan pada 14 Februari 2024 lalu. Hal itu lantaran mereka memandang Presiden Jokowi dianggap melakukan cawe-cawe dalam kontestasi pilpres.

Tak sedikit yang menilai bahwa Jokowi dianggap berpihak kepada pasangan calon (paslon) nomor urut 02, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, di mana Gibran merupakan putra sulung Jokowi.

Setidaknya hal ini tercermin dari berbagai temuan survei. Survei Indikator yang dirilis pada 9 Februari 2024, misalnya, menunjukkan bahwa 87,8% responden menyatakan bahwa paslon 02 didukung oleh Jokowi.

Temuan Indonesia Survey Center (ISC) pada 11 Desember 2023 lalu juga menunjukkan hal senada. Menurut survei ini, sebanyak 58,8% pemilih Jokowi-Ma’ruf pada Pilpres 2019 memilih Prabowo-Gibran di 2024. Bahkan, exit poll Litbang Kompas pada 14 Februari 2024 menunjukkan bahwa 99% pemilih Prabowo-Gibran menjatuhkan pilihannya kepada paslon tersebut karena faktor Jokowi.

Presiden Jokowi sendiri secara terbuka menyatakan bahwa dirinya selaku presiden memang boleh berkampanye. Ia merujuk pada Pasal 299 Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Namun, ia tidak terang-terangan memihak ke paslon tertentu.

Meski begitu, publik menilai bahwa ada yang luput dari perhatian Presiden Jokowi, yakni Pasal 282 UU tersebut. Pasal tersebut berbunyi: “Pejabat negara, pejabat struktural dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri, serta kepala desa dilarang membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu Peserta Pemilu selama masa Kampanye.”

Guru Besar Fakultas Hukum (FH) Universitas Padjadjaran (Unpad), Prof. Susi Dwi Harijanti, mengatakan bahwa Presiden Jokowi memang tidak secara resmi membuat keputusan atau mengambil tindakan secara birokratis yang menguntungkan paslon Prabowo-Gibran sesuai yang tercantum pada pasal tersebut.

“Secara official kan tidak, ya, tetapi dilarang menguntungkan itu, kan, kita lihat di dalam tindak-tanduk. Tapi persoalannya adalah bagaimana menegakkan pasal itu,” kata Susi kepada Gatra.com ketika ditemui usai nonton bareng (nobar) film Dirty Vote di lingkungan Unpad, Jatinangor, Sabtu (24/4/2024).

Lulusan Melbourne University Law School itu mengatakan bahwa Pasal 282 itu mencerminkan asas adil dalam pemilu lantaran presiden petahana dilarang menguntungkan atau merugikan paslon tertentu yang sedang berkontestasi. Dengan demikian, rasa keadilan itu dipandang publik tidak hanya melalui cara-cara birokratis, tetapi juga dari bahasa tubuh presiden.

Lebih lanjut, Susi mengatakan bahwa mekanisme penegakan pasal itu harus muncul dalam bentuk laporan dari pelapor kepada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Meski begitu, ia merasa masih perlu mendalami lagi apakah Bawaslu punya mekanisme untuk melakukan penyelidikan sendiri tanpa laporan.

Namun, Susi merasa pesimistis bahwa Bawaslu akan menindaklanjuti kalaupun ada laporan pelanggaran pemilu dari pelapor. Ia meragukan integritas anggota Bawaslu yang telah lama dipermasalahkan, termasuk sejak masa pemilihan anggota hingga kenaikan tunjangan kinerja (tukin) dua hari sebelum hari pencoblosan pada 14 Februari 2024 lalu.

“Seharusnya Bawaslu tetap pada nature-nya. Dia independen. Kenapa? Karena Bawaslu itu harus meletakkan dirinya sebagai bagian dari siklus pemilihan umum, dan yang paling penting ini terkait dengan penegakan,” ujar dosen spesialisasi hukum tata negara itu.

Susi juga menyoroti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang memuluskan jalan Gibran menjadi cawapres meski sebelumnya secara aturan ia belum cukup umur untuk berkontestasi merebutkan posisi itu.

Ia pun merasa putusan pelanggaran etik dari Majelis Kehormatan MK kepada hakim MK, Anwar Usman atau paman Gibran, dan putusan pelanggaran etik dari Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) kepada KPU yang menerima pencalonan Gibran meski belum ada revisi Peraturan KPU, tidak berarti apa-apa karena putusan MK di atas tetap berlaku.

Dengan demikian, Susi menilai bahwa pilpres kali ini tidak adil. “Menurut saya enggak fair karena kalau saya selalu berpendapat bahwa fair itu berkaitan bukan hanya dengan hasil, tapi lebih banyak berkaitan dengan prosedur. Kita semua tahu prosedur pencalonan cawapres lewat putusan Nomor 90 MK. Kita semua tahu bagaimana itu terjadi,” ujar Susi.

Senada dengan Susi, dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI), Bivitri Susanti, juga mengatakan bahwa tindak-tanduk Presiden Jokowi juga sudah memenuhi pelanggaran pada Pasal 282.

“Oh, sudah memenuhi. Sudah memenuhi karena dia pakai kekuasaannya, dan memang jelas menguntungkan salah satu paslon. Apalagi itu dilakukan tidak secara legal. Kan dia enggak cuti, ya? Jadi sudah memenuhi menurut saya,” kata Bivitri kepada Gatra.com di kesempatan yang sama.

Selain Jokowi tidak mengambil cuti, Bivitri juga menyoroti persoalan di mana Jokowi tidak termasuk ke dalam struktur kampanye Prabowo-Gibran. Apalagi, kata dia, Jokowi juga bukan merupakan bagian dari parpol yang mengusung Prabowo-Gibran karena Jokowi masih berstatus kader PDI Perjuangan yang dalam pilpres kali ini mengusung Ganjar-Mahfud.

Dengan demikian, Bivitri menilai bahwa konsekuensi hukum yang bisa diterima Jokowi atas dugaan pelanggaran pasal itu bisa digulirkan melalui hak angket DPR. Meski melihat potensi hak angket bergulir sangat kecil, ia menilai hal itu bisa diupayakan. “Ya, tapi sebagai proses politik itu tetap kita perlukan,” ujar salah satu aktor film dokumenter Dirty Vote itu.

Tangan magis Jokowi memang tidak main-main. Hingga perhitungan termutakhir pada 22 Februari 2024 pukul 23.00 WIB yang diakses Gatra.com pada Sabtu (24/2/2024), tercatat paslon nomor urut dua, Prabowo-Gibran, masih memimpin jauh dengan total perolehan 58,89% atau 65.049.492 suara.

Sementara itu, paslon nomor urut 01, Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar, menguntit di posisi kedua dengan persentase 24,06% atau 26.581.455 suara. Di posisi buncit bertengger paslon nomor urut 03, Ganjar Pranowo dan Mahfud MD dengan perolehan 17,05% atau 18.833.011 suara.

193