Home Liputan Haji Masjid Dua Kiblat Saksi Bisu Perubahan Arah Shalat

Masjid Dua Kiblat Saksi Bisu Perubahan Arah Shalat

Madinah, Gatra.com- Lengkung mihrab putih yang disangga pilar itu bertuliskan kaligrafi khat kufi warna emas. Kaligrafi itu dimulai dengan, Allah berfirman dalam kitab-Nya. Selanjutnya ternukil ayat Alquran surat Al Baqoroh ayat 144 yang bercerita tentang perintah Allah untuk memindahkan arah kiblat umat Islam. Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.

Kaligrafi itu tertulis di mihrab Masjid Qiblatayn menjadi salah satu lokasi ziarah yang wajib dikunjungi, baik oleh jamaah haji maupun umroh. Kiblat itu mengarah ke baitullah. Semula masjid ini memiliki dua mihrab, satunya mengarah ke Baitul Maqdis di Yerusalem, Palestina. Kini mihrab kedua ini hanya ditandai dengan mihrab tiruan di atas tembok pintu masuk masjid. Saat masuk ruangan masjid, peziarah dapat melihat tanda mihrab tersebut.

Qiblatain merupakan salah satu masjid terpenting dalam sejarah peradaban Islam. Terletak sekitar 7 km di sebelah timur laut Masjid Nabawi, masjid yang awalnya bernama Masjid Bani Salamah ini berdiri kokoh. Penamaan Masjid Bani Salamah ini, karena dibangun di bekas rumah sahabat Nabi, Bani Salamah.

Qiblatain artinya dua kiblat. Di masjid ini Nabi Muhammad saw. mendapat wahyu dari Allah Swt. untuk mengubah arah kiblat dari Masjidil Al Aqsa di Baitul Maqdis (Palestina) ke Ka'bah di Masjidil Haram sebagaimana kaligrafi di mihrab masjid tersebut.

Masjid ini dibangun Sawad ibn Ghanam ibn Ka'ab pada tahun 2 H (623 M) dengan dua mihrab (relung yang menunjukkan kiblat) dalam arah yang berlawanan. Pada 1987, pada masa pemerintahan Raja Fahd , masjid ini dirobohkan seluruhnya dan dibangun kembali. Selama rekonstruksi, relung salat lama yang menghadap Yerusalem dihilangkan, tinggal relung yang menghadap Mekah.

Masjid Qiblatayn adalah salah satu masjid paling awal yang berasal dari zaman Muhammad , bersama dengan Masjid Quba'a dan Masjid an-Nabawi. Para sahabat Nabi SAW menamai berdasarkan peristiwa yang terjadi pada 15 Sya'ban tahun 2 H. Banyak peziarah yang pergi ke Mekah untuk berhaji sering mengunjungi Madinah, dimana ada pula yang mengunjungi masjid ini karena makna sejarahnya.

Ruang salat utama mengadopsi geometri dan simetri ortogonal kaku yang ditonjolkan dengan penggunaan menara kembar dan kubah kembar. Tempat Imam dua shaf atau baris dari mihrab ditandai dengan rak kayu yang berisi kitab setinggi 40-an centimeter. Thariq, muazzin masjid Qiblatayn mengumandangkan azan dengan mirofon di samping pengimaman. Di sebelah mihrab menonjol tempat khatib berkhotbah yang tinggi berbahan kayu dengan dua pintu.

Ada kubah palsu di atas pintu masuk untuk menandai kiblat ke arah Yerusalem. Kubah kecil untuk melambangkan peralihan dari satu kiblat ke kiblat lainnya. Replika mihrab itu merupakan tiruan kubah di ruang bawah Kubah Batu di Yerusalem yang mengingatkan orang akan mihrab tertua yang masih ada. Secara eksternal, kosakata arsitektur terinspirasi oleh elemen dan motif tradisional dalam upaya yang disengaja untuk menawarkan citra otentik situs bersejarah tersebut.

Masjid ini terletak di barat laut kota Madinah, di Jalan Khalid ibn al-Walid. Masjid ini awalnya dikelola oleh Khalifah Umar ibn al-Khatt?b . Renovasi pra-modern terakhir dilakukan oleh Sultan Sulaiman yang merekonstruksi masjid. Konsultan Ibadah PPIH Daker Madinah, Aswadi, bercerita perubahan arah kiblat diyakini terjadi pada bulan Sya' ban, ketika Nabi Muhammad SAW memimpin Shalat Dzuhur.

Ketika sudah shalat dua rakaat, turunlah wahyu yang memerintahkan untuk mengubah arah kiblat. Maka Nabi sesegera mungkin mengubah arah kiblat tersebut. "Karena itu merupakan perintah langsung di rakaat kedua atau dua rakaat bagian yang kedua. Dan langsung baginda Rasul itu mengalihkan kiblatnya itu dari Baitul Maqdis ke Ka'bah Baitullah. Ini kemudian diikuti oleh semua jamaah," kata Aswadi yang juga guru besar UIN Sunan Ampel Surabaya ini.

Ada perbedaan pendapat dari para ulama mengenai waktu perpindahan arah kiblat tersebut. Sebagian menyatakan terjadi di Bulan Syakban, dan ada yang mengatakan di Bulan Rajab. Ada yang mengatakan itu adalah hari Senin. Ada yang mengatakan itu hari Selasa. Ada yang mengatakan Shalat Zuhur, ada yang mengatakan Shalat Ashar.

Dikutip dalam laman Kemenag RI, Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitabnya Fathul Bari menyatakan bahwa itu terjadi saat Shalat Zuhur. Pendapat yang dianggap paling tepat adalah salat yang dikerjakan di Bani Salamah pada saat meninggalnya Bisyr bin Barra' bin Ma’rur adalah Shalat Zuhur. Sementara shalat yang pertama kali dikerjakan di Masjid Nabawi dengan menghadap Ka'bah adalah Salat Ashar.

Kisah perpindahan arah kiblat ini bermula ketika Nabi Muhammad mengunjungi ibu dari Bisyr bin Barra' bin Ma’rur dari Bani Salamah yang ditinggal mati keluarganya. Kemudian tibalah waktu salat. Nabi pun shalat bersama para sahabat di masjid itu.

Dua rakaat pertama masih menghadap Baitul Maqdis, sampai akhirnya Malaikat Jibril menyampaikan wahyu pemindahan arah kiblat. Wahyu datang ketika baru saja Nabi menyelesaikan rakaat kedua.

Perintah Allah Swt. yang menyuruh untuk menghadap Masjidil Haram ini tertuang dalam Al Quran surat Al Baqarah ayat 144. Pada awalnya, kiblat shalat untuk semua nabi adalah Baitullah di Makkah, seperti yang tercantum dalam Al Quran Surat Ali Imran ayat 96. "Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk tempat beribadah manusia ialah Baitullah di Makkah yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia."

Sementara Al-Quds (Baitul Maqdis) ditetapkan sebagai kiblat untuk sebagian dari para nabi dari Bani Israil. Dari Madinah, Baitul Maqdis berada di sebelah utara, sedangkan Baitullah di bagian selatan.

Ketika masih di Makkah, Nabi shalat menghadap Baitul Maqdis, juga sekaligus menghadap Ka'bah. Nabi menghadap ke utara, di mana posisi Ka'bah searah dengan Baitul Maqdis. Perubahan arah kiblat sendiri sudah diinginkan Nabi, karena selama di Makkah beliau shalat menghadap ke Baitul Maqdis. Bahkan sampai di Madinah pun, beliau masih menghadap ke sana lebih dari setahun.

Namun, Nabi terus memohon, mencari kepastian dan berharap agar kiblat dipindahkan ke Ka'bah, sebagaimana dalam Surat Al-Baqarah ayat 144. "Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai."

122