Home Nasional Warga NU Alumni UGM Desak PBNU Tolak Konsesi Tambang: Bisa Jerumuskan ke Kubangan Dosa Sosial dan Ekologis

Warga NU Alumni UGM Desak PBNU Tolak Konsesi Tambang: Bisa Jerumuskan ke Kubangan Dosa Sosial dan Ekologis

Yogyakarta, Gatra.com - Sebanyak 68 warga Nahdlatul Ulama (NU) alumni Universitas Gadjah Mada (UGM) menyatakan menolak pemberian konsesi tambang ke ormas keagamaan. Mereka mendesak Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menolak pemberian konsesi tersebut karena akan menjerumuskan dalam kubangan dosa sosial dan ekologis.

"Batubara adalah sumber energi kotor yang berkontribusi besar terhadap pemanasan global dan perubahan iklim, menyebabkan banyak bencana di Indonesia," kata juru bicara warga NU alumni UGM, Slamet Thohari, dalam jumpa pers daring, Minggu (9/6) malam.

Ia menjelaskan, aktivitas ekstraksi memperburuk kualitas sosial dan ekologi melalui perampasan tanah, penggusuran, deforestasi, polusi, dan lubang pasca tambang yang ditinggalkan.

"Lubang-lubang pasca tambang yang tidak direklamasi telah merenggut banyak korban di Kalimantan, Sumatera, Bangka, dan daerah lainnya. Ekstraksi batubara di Indonesia juga berkelindan dengan korupsi," tutur dosen Universitas Brawijaya tersebut.

Menurutnya, kebijakan pemerintah melibatkan organisasi keagamaan dalam penambangan batubara adalah jalan menggeser ormas ke kelompok kapitalis, menempatkannya di sisi yang mengeksploitasi manusia lain dan menjarah alam.

Padahal sesuai paparan aktivis NU di Yogyakarta, Heru Prasetia, NU telah mengeluarkan keputusan melalui Bahtsul Masail 2017 yang mendorong pemerintah untuk menggunakan energi terbarukan yang ramah lingkungan dan mencegah kerusakan lingkungan.

Muktamar NU di Jombang pada 2015 juga menyerukan moratorium semua izin tambang. Muktamar NU 2023 di Lampung pun merekomendasikan bahwa pemerintah perlu menghentikan pembangunan PLTU batubara baru mulai 2022.

Menurutnya, putusan, seruan, dan rekomendasi NU ini seharusnya menjadi pedoman bagi pengurus PBNU sekarang dan ke depan dalam menjalankan roda organisasi. PBNU, kata Heru, perlu menyadari dengan penuh empati bahwa dampak kerusakan akibat tambang paling banyak dirasakan oleh petani, peladang, dan nelayan yang kebanyakan adalah warga nahdliyin –kelompok yang seharusnya menjadi tempat/sisi bagi pengurus NU untuk berpihak.

"Dalih bahwa menerima konsesi tambang adalah kebutuhan finansial untuk menghidupi roda organisasi harus dibuang jauh-jauh karena itu justru menunjukkan ketidakmampuan pengurus dalam mengelola potensi NU," katanya.

Dengan mempertimbangkan masalah-masalah tersebut, warga NU alumni UGM menyatakan sikap, pertama, menolak kebijakan pemerintah memberikan izin kepada organisasi keagamaan untuk mengelola pertambangan seperti ekstraksi batubara karena akan merusak organisasi keagamaan yang seharusnya menjaga marwah sebagai institusi yang bermoral.

"Kedua, meminta pemerintah untuk membatalkan pemberian izin tambang pada ormas keagamaan karena berpotensi hanya akan menguntungkan segelintir elit ormas, menghilangkan tradisi kritis ormas, dan pada akhirnya melemahkan organisasi keagamaan sebagai bagian dari kekuatan masyarakat sipil," papar Heru.

Selanjutnya, mendesak PBNU untuk menolak kebijakan pengelolaan tambang untuk ormas keagamaan dan membatalkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang telah diajukan karena akan menjerumuskan NU pada kubangan dosa sosial dan ekologis.

Warga NU alumni UGM juga mendesak PBNU agar kembali berkhidmah untuk umat dengan tidak menerima konsesi tambang yang akan membuat NU terkooptasi menjadi bagian dari alat pemerintah untuk mengontrol masyarakat, serta terus mendorong penggunaan energi terbarukan.

Selain itu, PBNU juga diminta untuk menata organisasi secara lebih baik dan profesional dengan mendayagunakan potensi yang ada demi kemandirian ekonomi tanpa harus masuk dalam bisnis kotor tambang yang akan menjadi warisan kesesatan historis.

"Kami juga mendesak pemerintah untuk konsisten dengan agenda transisi energi Net Zero Energy 2060 yang di antaranya dengan meninggalkan batubara, baik sebagai komoditas ekspor maupun sumber energi primer, serta menciptakan enabling environment bagi tumbuhnya energi terbarukan melalui regulasi," kata Heru.

Dalam poin ketujuh, mereka juga mendesak pemerintah untuk mengawal kebijakan, mengawasi, dan melakukan penegakan hukum lingkungan atas terjadinya kehancuran tatanan sosial dan ekologi seperti perampasan lahan, penggusuran, deforestasi, eksploitasi, korupsi, dan polusi, akibat aktivitas pertambangan batubara.

"Kami menyerukan seluruh elemen masyarakat untuk berkonsolidasi dan terus berupaya membatalkan peraturan yang rawan menyebabkan kebangkrutan sosial dan ekologi," tandasnya.

91