Home Politik Pasal Penghinaan Presiden Tidak Relevan dan Demokratis

Pasal Penghinaan Presiden Tidak Relevan dan Demokratis

Jakarta, Gatra.com - Peneliti Institute of Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati mengkritisi pasal penghinaan presiden dalam Rancangan Undang Undang Kitab Hukum Pidana (RKUHP). Apabila RUU tersebut disahkan, menurutnya, DPR dan Pemerintah telah menyalahi aturan konstitusi. 

Maidina menuturkan, sebelumnya dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2007 lalu ditegaskan, pasal tentang penghinaan terhadap presiden ini sudah tidak relevan untuk kehidupan masyarakat demokratis. 

Bahkan, lanjutnya, Hakim MK dalam sidang putusan saat itu mengatakan, pasal penghinaan presiden atau yang serupa dengan pasal itu, tidak boleh ada di Reformasi Hukum Pidana Indonesia. 

Oleh karena itu, dia menilai, adanya RKUHP merupakan tindakan membangkang terhadap konstitusi. Terutama kepada pihak yang merumuskan Rancangan UU ini. 

"Berarti kan memodifikasi dalam bentuk apa pun, kalau sekarang perumus RKUHP memodifikasinya dengan delik aduan, tidak menghilangkan sifat pidananya, maka sebenarnya kita membangkang dari konstitusi. Akhirnya pertimbangan MK yang menyatakan pasal penghinaan presiden tidak boleh ada, itu tidak diperhatikan oleh perumus RKUHP," ujarnya pasca diskusi publik di Kantor Indonesia Corruption Watch (ICW), Kalibata, Jakarta Selatan, Jumat (20/9). 

Lebih lanjut, Maidina menuturkan, dari hasil putusan MK saat itu menyebutkan, kedudukan pejabat, dalam hal ini Presiden setara dengan masyarakat.  "Dan kalau kita lihat filosofis putusan MK-nya, MK sudah clear ngomong. Pasal yang membuat adanya hubungan tidak setara antara pejabat dan rakyat itu enggak boleh ada dalam masyarakat demokratis," tutur Maidina. 

Dia mensinyalir, pasal penghinaan presiden dalam RKUHP itu bukan atas dasar untuk melindungi simbol negara, tetapi semata-mata untuk melindungi diri dari kritikan masyarakat. 
 

440