Home Teknologi Pakar Precious Communications Beberkan Penyebab Tech Winter dan Fenomena Layoff Startup

Pakar Precious Communications Beberkan Penyebab Tech Winter dan Fenomena Layoff Startup

Jakarta, Gatra.com - Indonesia menjadi surga dari perusahaan rintisan atau startup di Asia dan dunia. Laporan Startup Ranking pada 2022 menyatakan, Indonesia berada di urutan kelima besar dengan jumlah startup terbanyak di dunia dengan 2.346 startup di dalam negeri. Peringkat teratas negara dengan jumlah startup terbanyak, yakni Amerika Serikat (AS) disusul India, Britania Raya, dan Kanada.

Negeri Uwak Sam, menurut Startup Ranking, memiliki 71.405 startup. Dari ribuan perusahaan startup yang berbiak di Amerika, sebanyak 712 di antaranya merupakan perusahaan unicorn atau perusahaan yang modal venturanya mencapai US$1 miliar atau di atasnya. Laporan CB Insights mencatat decacorn dan unicorn Asia Tenggara sebagian besar berasal dari Singapura, Indonesia, Malaysia, dan Filipina.

Perusahaan startup yang berhasil masuk dalam kategori decacorn atau perusahaan yang modal venturanya mencapai US$10 miliar atau di atasnya, yakni Sea dan Grab (Singapura), serta Gojek dan Tokopedia atau GoTo dan J&T Express (Indonesia). Selain berhasil membukukan dua decacorn, Indonesia juga memiliki sejumlah unicorn yang daftarnya terus mengalami penambahan. Perusahaan unicorn di Indonesia saat ini di antaranya OVO, Bukalapak, Traveloka, Xendit, Ajaib, dan Kopi Kenangan.

Meski mengalami peningkatan statistika yang membanggakan, startup di Indonesia—juga di dunia—mengalami masa suram atau tech winter dengan adanya fenomena atau gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) hingga 2023. Tahun lalu, sekitar 25 perusahaan melakukan pemangkasan jumlah karyawan. Mulai dari GoTo, Grab, Shopee, Zenius, Xendit, dan Ajaib.

Masa suram atau tech winter sejatinya merupakan fenomena global yang melanda seluruh negara di dunia. Berbagai startup di AS juga mengalami gelombang PHK hingga tahun ini. Nama besar seperti Cameo, On Deck, dan Robinhood hingga platform business to business (B2B) seperti Workrise dan Thrasio dilaporkan juga melakukan PHK atau layoff terhadap karyawannya. Kebijakan yang sama juga diambil raksasa teknologi dunia seperti Google/Alphabet, OLX, Ericsson, Apple, Yahoo, e-Bay, dan banyak lagi.

Lanskap bisnis startup pasca pandemi dan kebijakan layoff karyawan yang luas mendapat tanggapan sejumlah kalangan. Managing Director and Principal Consultant dari Precious Communications, Lars Voedisch membeberkan sejumlah tantangan dalam ekosistem startup. Sebagai seorang eksekutif dan pakar di bidang komunikasi, Lars memiliki pengalaman yang panjang dalam memberikan arahan strategis tingkat atas kepada lebih dari 500 startup dan perusahaan modal ventura, termasuk lebih dari 20 unicorn dalam mendukung aktivitas pendanaan, Merger&Akuisisi (M&A) dan IPO.

Ilustrasi Startup (Doc. FreePik)

Menurutnya, startup masih menangkap peluang menjanjikan. Ia mencontohkan AS yang berkomitmen meningkatkan level 600-700 startup unicorn untuk menopang ekonomi di negara Uwak Sam. Lars menyebut, telah terjadi pergeseran dan perubahan selera di pasar yang penting diperhatikan oleh sejumlah pelaku bisnis startup.

“Kami memeriksa jalannya ekosistem startup. Ini seperti perputaran ekonomi dan siklus industri. Saya pikir apa yang terjadi selama pandemi ketika semua orang tinggal di rumah. Jelas, semua orang lebih banyak menggunakan platform digital. Seperti Zoom semuanya “Boom” dan setiap e-commerce meledak,” ucap Lars dalam wawancara bersama Gatra.com belum lama ini.

Pergeseran yang terjadi di pasar menurutnya bagian dari perilaku ekonomi dan eksekutif perusahaan harus menyadarinya dengan merancang pivot yang serius dalam bisnis. Pandemi menurut Lars telah melahirkan “pent up demand” atau permintaan terpendam. Akibatnya, terjadi banjir permintaan terhadap produk e-commerce di titik tertentu yang berdampak pada perekrutan karyawan seketika.

Transaksi di platform e-commerce dilaporkan meningkat sejak diberlakukannya pembatasan aktivitas masyarakat di luar rumah. Di AS misalnya, konsumen membeli produk kesehatan dan rumah tangga melalui layanan Amazon Fresh. Alhasil, Amazon merekrut 100 ribu karyawan penuh dan paruh waktu di AS karena lonjakan transaksi.

“Berakhirnya pandemi yang disebut pent up demand berpengaruh pada masyarakat. Jadi, mereka berhenti berbelanja (online). Sementara, pelaku usaha masih merekrut dan mengambil talenta setiap saat. Di sini tidak terjadi keseimbangan antara permintaan dan penawaran,” tutur Lars yang juga jebolan Master of Economics dari University of Hannover, Germany itu.

Menurutnya, terjadi pergeseran pola masyarakat pasca pandemi di mana masyarakat kembali menjajal kebiasaan berbelanja ke toko fisik. Hal tersebut mengurangi pasokan bisnis dari startup atau marketplace. “Saat pandemi berakhir permintaan yang terpendam membuat orang-orang kembali berbelanja (fisik). Sehingga secara umum, permintaan tidak sama dengan yang diproyeksikan. Pada saat yang sama, terjadi peristiwa global dan situasi ekonomi yang berbeda,” katanya.

Lars mengatakan, perubahan pola adaptasi dan selera masyarakat tidak menjadi satu-satunya faktor terjadinya layoff karyawan dan penurunan kinerja startup. Hal yang tak kalah penting, yakni pelaku usaha tidak siap menghadapi perubahan yang terjadi dan menyiapkan strategi dengan baik.

“Menurut saya, ini menjadi kombinasi situasi secara umum. Salah satunya panik yang dialami pelaku startup. Sekali lagi, jika semua orang direkrut maka semuanya harus dipekerjakan. Situasi sebaliknya terjadi jika akan memberhentikan orang,” katanya.

Faktor lain karena sejumlah startup memilih tipe bisnis yang salah atau tidak memiliki keberlanjutan ekonomi. Di sisi lain, eksekutif perusahaan memproyeksikan bisnis secara ambisius sehingga berdampak pada kemunduran atau penurunan usaha. “Bukan hanya startup tetapi perusahaan teknologi global besar bermain di arena yang salah. Ada yang membuka bisnis dengan terlalu optimistis,” tandasnya.

701