Home Politik Akademisi: Capek-capek Hitung Kursi per Dapil, Ujung-ujungnya Aleg Tunduk Ketum Parpol

Akademisi: Capek-capek Hitung Kursi per Dapil, Ujung-ujungnya Aleg Tunduk Ketum Parpol

Jakarta, Gatra.com – Dosen ilmu politik dan kepemiluan Universitas Sam Ratulangi Manado Sulawesi Utara, Ferry Daud Liando, mengkritisi sistem rekrutmen anggota legislatif di level akar rumput dan kinerjanya setelah duduk nyaman di parlemen di Senayan, Jakarta.

Menurut Ferry, proses rekrutmen berdasar daerah pemilihan (dapil) tak sejalan dengan ujung praktiknya di Senayan ketika anggota DPR itu justru takluk pada ketua umum parpol, dan bukan pada kehendak rakyat yang diwakilinya, ketika harus menjalankan fungsi legislasinya.

“Kita itu capek-capek urus jumlah kursi per dapil, ternyata setelah di DPR, DPR itu bukan atas nama penduduk, tetapi mewakili ketua partai. Jadi percuma aja kita masing-masing daerah berapa kursi,” kata Ferry dalam webinar yang digelar Masyarakat Ilmu Pemerintahan Idnonesia (MIPI), Sabtu, (8/4/2023).

Seperti diketahui, ramai menjadi perbincangan publik baru-baru ini pernyataan Ketua Komisi III DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Bambang Wuryanto, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Menkopolhukam Mahfud MD mengenai RUU Perampasan Aset.

Bambang Wuryanto yang juga akrab disapa Bambang Pacul itu enggan menerima tantangan Mahfud MD untuk segera mengesahkan RUU Perampasan Aset. Ia terang-terangan menyebut bahwa pengesahan RUU semacam itu harus mendapat restu dari ketum parpol.

“Lobinya jangan di sini, Pak. Ini semua nurut bosnya masing-masing. Bambang Pacul ditelpon Ibu, ‘Pacul Berhenti!’ Siap. ‘Laksanakan’. Laksanakan, Pak. Mungkin Perampasan Aset bisa, tapi harus bicara dengan para ketum partai dulu. Kalau di sini [Senayan] enggak bisa. Jadi permintaan jenengan [Mahfud MD] langsung saya jawab. Bambang Pacul siap kalau diperintah juragan,” tutur Bambang Pacul.

Video RDP yang ditayangkan secara langsung via kanal YouTube Komisi III DPR RI itu kemudian dengan cepat dicuplik oleh media massa dan warganet. Akibatnya, banyak elemen publik yang marah kepada Bambang Pacul karena mereka menganggap legislator PDIP itu lebih tunduk pada kehendak ketum alih-alih rakyat yang diwakilinya.

Bagi Ferry, peristiwa itu menjadi salah satu cerminan betapa buruknya kinerja anggota legislatif di Senayan. Selain tunduk pada ketum parpol, kata dia, anggota DPR dan juga DPRD cenderung korup lantaran menjadi pejabat publik yang paling sering diciduk KPK, menunjukan krisis moral, hingga kerap memproduksi UU yang buruk lantaran sering diuji ke MK.

“Ini hampir setiap tahun lembaga survei melakukan survei terkait penilaian lembaga-lembaga publik di Indonesia. Ini tidak pernah berubaha posisinya. Selalu DPR yang paling tidak dipercaya oleh publik,” kata Ferry.

Ferry menduga hal-hal semacam itu disebabkan oleh hal yang jauh lebih mendasar, salah satunya yakni lemahnya sistem rekrutmen caleg di level parpol. Ia menyayangkan mengapa parpol begitu mudah menggaet caleg yang tak melalui proses kaderisasi. Idealnya, kata dia, caleg yang diajukan parpol minimal sudah melalui proses kaderisasi 4-5 tahun.

“Selama ini kan kita lihat anggota-anggota DPR itu yang dicalonkan enggak tahu asal-muasalnya. Enggak jelas apakah dia anggota parpol. KTA itu kerap diperjualbelikan. Siapa saja bisa membeli kartu anggota unutk menjadi calon,” tandas Ferry.

194