Home Nasional KNPI Soroti Polemik RUU Kesehatan

KNPI Soroti Polemik RUU Kesehatan

Jakarta, Gatra.com - Rancangan undang-undang (RUU) Kesehatan Omnibus Law hingga kini masih menjadi polemik dan mendapat penolakan dari organisasi profesi kesehatan yaitu dari IDI, PDGI, PPNI, IBI dan IAI. DPR diminta segera mencabut RUU tersebut dari program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas 2023.

Ketua Umum DPP Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), Haris Pertama memandang RUU ini berpotensi menghilangkan Peran dan Wadah Organisasi Profesi Kesehatan yang selama ini sudah banyak membantu Pemerintah, terutama dalam menghadapi Covid-19, 700 tenaga kesehatan menjadi korban pada masa pandemi karena menjadi garda terdepan.

Ia menekankan bahwa keberadaan Organisasi Profesi kesehatan merupakan produk reformasi yang di mana merupakan mitra pemerintah sekaligus menjadi Civil Society dalam bidang terkait, di setiap kebijakan dan regulasi yang diambil pemerintah serta DPR.

"Minimnya keterlibatan serta masukan Wadah Organisasi Kesehatan terkait dalam penyusunan RUU Kesehatan Omnibus Law mengakibatkan penolakan Tenaga kesehatan atas RUU tersebut,” ujarnya.

Haris menyinggung bahwa ribuan tenaga kesehatan (nakes) di beberapa wilayah di Indonesia telah menggelar aksi demonstrasi menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan Omnibus Law.

Terlebih, jelas Haris, yang turun langsung ke jalan untuk menyampaikan aspirasi adalah dokter-dokter dari lima organisasi profesi, yakni Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), dan Persatuan dokter Gigi Indonesia (PDGI).

Sikap Pemerintah dalam RUU kesehatan, jelas Haris, selain adanya pasal yang tidak sesuai kepentingan Masyarakat dan merugikan Hak-Hak Tenaga Kesehatan, juga menghilangkan Peran Organisasi Profesi. Menurutnya hal tersebut lazim terjadi pada era rezim saat ini.

“Pembelahan dan penghapusan banyak Wadah Organisasi di era ini terburuk setelah reformasi yang memberikan kebebasan dalam berorganisasi dan berserikat, bahkan lebih buruk dari Orde Baru yang hanya menerapkan Asas Tunggal,” tegasnya.

Diketahui, Omnibus law merupakan penyederhanaan sejumlah regulasi menjadi satu regulasi menyeluruh. Dengan harapan, urusan pemangku kepentingan—dalam hal ini kesehatan—menjadi lebih mudah: pasien, tenaga kesehatan, apotek, rumah sakit, hingga investor.

"Di sisi lain, penyederhanaan juga berisiko menghilangkan pasal-pasal penting karena luasnya cakupan dan banyaknya aturan yang harus disinkronisasikan," jelasnya.

Haris menyebut sejak pola omnibus diterapkan, kontroversi tidak pernah berhenti. Terkait RUU Kesehatan, setidaknya 15 undang-undang profesi dan kesehatan akan digabung menjadi satu.

"Polemik terjadi terkait kewenangan organisasi profesi, terutama dalam hal izin praktik, kolegium pendidikan, konsil kedokteran, hingga isu investasi dan tenaga kesehatan asing," ujarnya.

Menurut Haris persoalan menjadi berlarut-larut karena dari sejak topik RUU Kesehatan omnibus law muncul September 2022, tidak pernah ada titik temu antara pemerintah dan DPR di satu sisi serta organisasi profesi dan kesehatan di sisi lain.

"Masing-masing menyampaikan aspirasi ke ruang publik, tanpa upaya mediasi untuk saling mendengarkan. Puncaknya adalah demonstrasi damai yang dilakukan 5 OP," ujarnya.

RUU Kesehatan, sebut Haris, dinilai juga akan mencabut peran organisasi profesi lantaran untuk praktik, bila RUU Kesehatan disahkan, maka nakes hanya perlu menyertakan Surat Tanda Registrasi (STR), alamat praktik dan bukti pemenuhan kompetensi. Tidak diperlukan lagi surat keterangan sehat dan rekomendasi organisasi profesi.

“Padahal rekomendasi organisasi profesi akan menunjukkan calon nakes yang akan praktik itu sehat dan tidak punya masalah etik dan moral sebelumnya,” tuturnya.

Mengikuti polemik RUU Kesehatan, Haris menilai bahwa hal ini terasa sangat memprihatinkan, mengingat profesi tenaga kesehatan beserta infrastrukturnya sangat dibutuhkan rakyat Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, total ada 176.110 dokter di seluruh Indonesia tahun 2022.

“Jumlah tersebut meliputi dokter gigi, dokter gigi spesialis, dokter umum, dan dokter spesialis. Pada tahun yang sama, jumlah puskesmas mencapai 10.374 unit,” ujarnya.

Haris juga menyinggung bahwa secara matematis jumlah dokter mencukupi untuk mengisi puskesmas di seluruh Indonesia, kenyataannya ratusan puskesmas tidak memiliki dokter dan fasilitasnya terbatas.

Dokter dan tenaga kesehatan, klinik, rumah sakit, dan apotek banyak terdapat di kota-kota besar di Pulau Jawa. Tidak mengherankan, masalah kesehatan yang seharusnya bisa diselesaikan di layanan kesehatan primer, masih tinggi kasusnya di Indonesia.

“Sebutlah tengkes, demam berdarah, malaria, juga angka kematian ibu dan bayi baru lahir. Tentu ini tidak semata-mata urusan Kementerian Kesehatan dan organisasi profesi, ada juga faktor kepemimpinan di daerah. Namun, sebaiknya polemik segera diselesaikan,” bebernya.

Sementara Ketua Umum PB IDI, Adib Khumaidi menyampaikan bahwa RUU Kesehatan banyak merugikan Hak-Hak Tenaga Kesehatan, mereka sebagai stakeholder tidak dilibatkan dalam penyusunan RUU Tersebut, sehingga Penyusunan RUU ini bersifat eksklusif, berdasarkan kepentingan para Oligarki kesehatan.

Menurut Adib dampak RUU Kesehatan merugikan masyarakat dan dunia kesehatan Indonesia. “RUU ini sangat Sentralistik padahal kita sudah di era desentralisasi,” ungkapnya.

“Dimudahkannya keterlibatan Tenaga Kesehatan Asing ke depan di sektor kesehatan Indonesia justru berbalik dengan iklim berbagai Negara di dunia yang sangat memberatkan keterlibatan Tenaga Kesehatan Asing di negara mereka,” tambah Adib.

Lebih lanjut, Adib mengungkapan deretan alasan sejumlah dokter, bidan, dan apoteker menolak RUU Kesehatan yang rupanya dilandasi kekhawatiran bahwa RUU Kesehatan justru akan melemahkan perlindungan dan kepastian hukum para dokter dan nakes.

Setidaknya, jelas Adib, terdapat empat alasan organisasi profesi kesehatan menolak RUU Kesehatan Omnibus Law.

Pertama, pembahasan RUU Kesehatan Omnibus Law dinilai sangat tidak transparan dan tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, tidak ada naskah akademik yang dibicarakan bersama pemangku kepentingan dan masyarakat untuk melihat dasar filosofi, sosiologis, dan yuridis yang bertujuan untuk kebaikan bangsa, sehingga dianggap sarat kepentingan pribadi atau golongan tertentu.

Kedua, RUU Kesehatan Omnibus Law sarat kepentingan atas liberalisasi dan kapitalisasi kesehatan yang akan mengorbankan hak kesehatan rakyat selaku konsumen kesehatan. Organisasi profesi kesehatan juga menilai substansi isi rancangan undang-undang berpotensi mengancam perlindungan dan keselamatan masyarakat atas pelayanan yang bermutu, profesional, dan beretika.

Ketiga, adanya gerakan pelemahan terhadap peran profesi kesehatan karena tidak diatur dengan undang-undang tersendiri. Terdapat juga upaya-upaya untuk menghilangkan peran-peran organisasi profesi yang selama ini telah berbakti bagi negara dalam menjaga mutu dan profesionalisme anggota profesi yang semata-mata demi keselamatan dan kepentingan pasien.

Keempat, terdapat upaya-upaya mengabaikan hal-hal yang telah mendapatkan putusan dari Mahkamah Konstitusi seperti Putusan Nomor 14/PPU-XII/2014, Putusan Nomor 82/PPU-XII/2015, dan Putusan Nomor 10/PPU-XV/2017 dan Nomor 80/PPU-XVI/2018.

53