Home Nasional Kabasarnas Tersangka KPK, Amnesty: Dibawa ke Pengadilan Militer Melanggar Asas Hukum

Kabasarnas Tersangka KPK, Amnesty: Dibawa ke Pengadilan Militer Melanggar Asas Hukum

Jakarta, Gatra.com - Polemik penetapan tersangka kasus dugaan suap pengadaan barang dan jasa di Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) yang melibatkan anggota aktif TNI menuai respons dari berbagai pihak. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan bahwa adanya keterlibatan TNI untuk membawa kasus ini ke pengadilan militer adalah hal yang melanggar asas hukum.

"Dalam pandangan kami, ada masalah serius berupa pelanggaran terhadap tiga asas hukum. Asas hukum pertama adalah bahwa hukum yang lebih tinggi mengesampingkan hukum yang lebih rendah," ujarnya dalam diskusi yang digelar secara hybrid, Minggu (30/7).

Ia menerangkan bahwa alasan TNI yang membenarkan pengambilalihan tersangka yaitu UU Peradilan Militer masih berada di bawah konstitusi. Dalam konstitusi, diterangkan bahwa Indonesia adalah negara hukum, sehingga semua warga negara memiliki kedudukan yang sama di mata hukum.

Baca Juga: Polemik OTT Basarnas Dinilai Tanggung Jawab Pimpinan KPK

Hal ini menunjukkan bahwa anggota TNI juga merupakan subjek hukum yang tidak kebal hukum. Kegiatan tangkap tangan yang dilakukan, pada dasarnya juga boleh dilakukan siapapun pada siapa saja yang tengah melakukan tindak pidana, entah masyarakat sipil atau polisi atau TNI. "Aturan itu malah dipakai untuk memberikan privilege atau keistimewaan atau perlakuan khusus terhadap anggota TNI aktif dalam tindak pidana korupsi. Ini menyalahi konstitusi," paparnya.

Asas kedua yang juga dilanggar adalah adanya asas hukum bahwa hukum yang baru mengesampingkan yang lama. Penggunaan UU Peradilan Militer, seharusnya melihat pada UU TNI tahun 2004.

Asas ketiga, hukum khusus mengembalikan hukum yang lebih umum juga tidak diterapkan di kasus ini. Padahal, tindak pidana korupsi adalah tindakan khusus sehingga seharusnya KPK bisa membawa kasus ini di peradilan umum.

"Terkait pelepasan wewenang KPK ke TNI (tersangka anggota aktif militer) menyalahi asas khusus hukum. Perdebatan militer atau umum harusnya tidak berlaku lagi karena membahas pidana umum, tapi yang terjadi sekarang adalah tindak pidana khusus yaitu korupsi. Semua tunduk pada itu," terangnya.

Atas dasar itu, ia mendorong pemerintah segera melakukan fungsi pengawasan yang sebenarnya, termasuk dengan memanggil pihak terkait. Presiden dan DPR harus aktif menghentikan polemik dan kegaduhan yang terjadi, dengan meneruskan kasus di KPK dan bukannya ke pengadilan militer.

"Karena ini sudah sangat serius pelanggarannya, maka sebaiknya komisi di DPR memanggil pejabat-pejabat yang relevan. Tindak pidana ini harus dilihat sebagai tindak pidana khusus, korupsi, tunduk pada mekanisme yang khusus ini," katanya.

Baca Juga: Menyikapi Polemik Penetapan Tersangka Kepala Basarnas oleh KPK

Seperti diketahui, pada Selasa (25/7) lalu, KPK melakukan kegiatan tangkap tangan dugaan tindak pidana korupsi di Basarnas. KPK mengamankan 11 orang beserta barang bukti transaksi dugaan suap berupa uang tunai sejumlah Rp999,7 juta.

Lembaga anti korupsi ini menetapkan lima tersangka yakni Kabasarnas RI periode 2021- 2023 Henri Alfiandi, Koorsmin Kabasarnas RI Afri Budi Cahyanto, Roni Aidil selaku Dirut PT Kindah Abadi Utama. Kemudian Mulsunadi Gunawan sebagai Komisaris Utama PT Multi Grafika Cipta Sejati dan Marilya yang menjabat Dirut PT Intertekno Grafika Sejati.

Namun, penetapan tersebut disangkal Komandan Pusat Polisi Militer (Danpuspom) TNI Marsekal Muda (Marsda) TNI Agung Handoko. Ia menilai OTT dan penetapan tersangka yang dilakukan KPK terhadap Kepala Basarnas Marsdya TNI Henri Alfiandi dan Letkol Adm Afri Budi Cahyanto, tidak sesuai dengan prosedur.

52